Syifa masih terisak lirih di pundak sahabatnya yang tak memaksa ia untuk menceritakan masalah yang sedang dihadapi. Bersahabat lama membuat Dina mulai paham Syifa tak suka ditanyai hal pribadi kecuali perempuan itu sendiri yang ceritakan.
Jadi, Dina hanya mencoba menenangkan dan menunggunya siap berbagi cerita yang mampu membuat seorang Syifa untuk pertama kali terlihat sedemikian rapuh.
Melepaskan pelukan, Syifa bergerak secepat mungkin menghpus jejak basah di wajahnya, hanya diam kala Dina bangkit mengambil kotak obat dalam lemari beserta selembar tisu di nakas.
"Lihat? Harga diri lo tetep diatas meski habis nangis." Dina berujar menyindir sahabatnya yang hanya diam ketika ia menyeka basah di wajah Syifa.
Mengoles salep untuk luka memar perlahan, Dina bahkan menahan napas dengan sedikit ringisan kala membayangkan ngilunya luka di sudut mata, yang Syifa sendiri bahkan mendesis sakit saja tidak. Benar-benar kebas.
"Lo bukan batu, Syif." Dina bernapas lega kala kegiatannya mengobati luka Syifa selesai. "Manusiawi banget kok kalo lo nangis. Jangan ditahan."
"Lo mau bikin gue nangis lagi?" Sungut Syifa sambil menyeka kasar satu bulir air mata yang jatuh hanya karena kalimat sederhana namun sarat akan perhatian dari sahabatnya. Satu-satunya orang yang tulus berteman dengan manusia kulkas sepertinya.
Terkekeh geli, Dina mengambil satu tangan Syifa untuk ia sentuhkan ke perutnya yang terasa sebuah pergerakan dari dalam, membuat perempuan itu menatap perut Dina takjub.
Ada pergerakan. Ada sebuah nyawa yang sedang berjuang tumbuh di dalam sana untuk lahir ke dunia, menjadi bayi yang menggemaskan.
"Calon ponakan lo." Dina tersenyum tulus, kali ini bukan jenis senyum jahil yang bertujuan membuat Syifa kesal seperti biasa.
Tak mampu mengeluarkan suara apapun dari kerongkongan hingga hanya membuka dan menutup mulut, Syifa balas menatap Dina yang menatapnya penuh arti.
"Gue bakalan jadi ibu, Syif. Suatu saat nanti lo juga. Jadi, sebagaimana gue yang nggak pernah bilang ke mas Bayu kalo bau badan dia cukup ganggu karena penciuman gue makin sensitif semenjak hamil, dan gue lebih milih cerita ke lo. Lo juga bisa cerita apapun, yang nggak bisa lo ceritain ke keluarga lo sendiri."
Menatap Dina dengan tatapan tak terbaca, Syifa memejamkan mata dengan seluruh lara yang menumpuk di hati. Menyentuh dada yang berdenyut sakit akibat perbuatannya sendiri.
Ia menyakiti Akbar.
Sakit ...
Tapi ia juga sakit.
Tak dapat mengira berapa banyak air mata yang merembes keluar dari matanya yang masih terpejam, Syifa sedikit terhenyak kala sebuah sentuhan ia rasakan di punggung tangan, membuat sepasang matanya membuka. Dina mengelusnya.
Menatap sahabatnya dengan pendaran putus asa, Syifa berucap lirih. "Lo tau gue nggak mau jatuh cinta." Masih terisak dengan gelengan pelan.
"Jatuh cinta itu datangnya dari Maha cinta, Syif. Dari Tuhan. Manusia nggak bisa milih." Dina kembali memberi pelukan pada Syifa yang hari ini tak terlihat kuat seperti biasa perempuan itu membangun citra diri di luar sana.
Dan jika sudah begini, Dina tak perlu bertanya siapa laki-laki yang bisa membuat hati dingin sahabatnya luluh. Yang jelas bukan calon suaminya. Karena jika iya, Syifa pasti akan menyambut hari bahagia itu dengan senyuman, bukan dengan tangisan pilu yang turut membuat sepasang mata Dina berkaca-kaca.
Menghela napas, tanpa melonggarkan pelukan Dina berbisik di dekat telinga Syifa yang masih tak henti terisak lirih.
"Apapun masalah lo sekarang, deketin diri ke Tuhan. Sholat, Syif. Doa. Lo minta yang terbaik sama Tuhan. Inget, apa yang terbaik, bukan apa yang lo pengen." Melepaskan pelukan, Dina mengusap wajah basah sahabatnya dengan telapak tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah [Selesai]
RomanceKebebasan. Adalah satu kata yang selalu menjadi mimpi bagi Syifa yang selama dua puluh dua tahun hidup, tali kendalinya selalu dipegang oleh sang Ayah. Tapi ia tak selamanya akan bersama sang Ayah, bukan? Dan pernikahan merupakan jalan keluar. Hany...