Syifa sedang berbaring di kamar tamu ketika dengan penuh kasih sayang, ibu laki-laki yang terlambat dirinya sadari ternyata amat hatinya cinta, mengompresnya dengan air hangat.
Menekan keinginan untuk bertanya di mana Akbar yang dari cerita Nuraini, Syifa baru tahu jika Akbar merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan menjadi tulang punggung keluarga, juga mengambil tanggung jawab besar untuk melindungi keluarganya semenjak sang ayah meninggal sepuluh tahun silam.
Sedang tidak di rumah, kah?
Atau sengaja tak mau menemuinya?
Tapi, pilihan kedua tampak tak mungkin dilakukan oleh seorang Akbar yang Syifa tahu memiliki hati yang begitu jernih, hingga marah pun Syifa ragu pernah laki-laki itu luapkan.
Dan soal wanita yang kini masih telaten mengganti kompresannya, Syifa tahu, Akbar memiliki kebaikan hati dari ibunya. Dan pasti juga ayahnya. Rumah ini tak tampak sepi dengan teriakan Rania yang kadang terdengar, juga suara langkah kaki yang seperti saling berkejaran di anak tangga.
Keluarga Akbar penuh kehangatan dan kasih sayang, sangat jauh jika dibandingkan keluarganya yang meski kedua orang tuanya masih lengkap, canda tawa nyaris tak pernah ada, pun berkumpul hanya saat makan bersama. Itupun dalam suasana yang mencekam.
Ah, seperti inilah wujud keluarga yang menjadi dambaan dari semua orang, tak ada anak-anak yang tertekan, tak ada pertengkaran serius, hanya ada canda tawa dan senyum tulus.
Sebuah tamparan tak kasat mata ia rasakan kala separuh hati mengolok perbuatannya sendiri di masa lalu. Menolak menerima tawaran Akbar untuk membangun keluarga yang mungkin akan seperti keluarga laki-laki itu yang menyuguhkan rumah sebagai tempat pulang, Syifa kembali merasakan nyeri di dada dengan pandangan mata yang mulai berkaca-kaca.
Jika saja waktu itu ia bersedia menurunkan ego, mungkin ia bisa memiliki keluarga kecil yang seperti ini, dan tak ada lagi anak-anaknya yang akan merasakan seperti apa yang dirinya rasakan.
Tapi, penyesalan selalu datang di akhir, bukan?
Dan tak perlu menampik, kala rasa bersalah selalu datang lantaran dirinya yang tak berpikir panjang. Syifa harus puas menelan pil kekecewaan sebab mungkin kesempatannya telah habis. Akbar mungkin tak mau menerimanya lagi.
Syifa cukup sadar diri, siapa yang mau beristri perempuan egois sepertinya?
"Airnya mulai dingin, tante ganti dulu, ya. Sekalian buatin sarapan." Karena masakannya belum selesai saat wanita paruh baya itu mengikuti Rania yang bergegas keluar tadi. "Sambil nunggu masakannya jadi kamu minum teh dulu, mumpung masih hangat." Nuraini menyentuh kening perempuan yang masih tak ia tahu mengapa mendatangi rumahnya malam-malam, namun merasa tak berhak bertanya banyak. "Sudah mulai turun panasnya. Ditinggal sebentar nggak apa-apa?"
Syifa mengangguk bersama seulas senyum tipis. Tampak menimbang sebentar saat melihat Nuraini membereskan baskom, Syifa memutuskan mengeluarkan suara.
"Tante.."
Panggilnya yang segera mendapat perhatian dari Nuraini yang sudah siap beranjak keluar.
"Butuh sesuatu?"
Menggigit bibir bagian bawahnya yang kering, Syifa menatap Nuraini ragu. "Tante, tau aku?"
Kembali duduk di sisi ranjang, Nuraini yang memberi senyum berkata lembut dengan pandangan menerawang. "Akbar pernah cerita tentang perempuan yang dia suka, terus nunjukin foto kamu."
Mendengarnya, Syifa merasakan hatinya menghangat. Akbar menceritakan tentangnya pada ibu laki-laki itu. Seulas senyum tipis tersumir bersama anggukan mengerti. Tapi kemudian senyumnya tak lagi mengembang begitu ia kembali mengingat kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah [Selesai]
RomanceKebebasan. Adalah satu kata yang selalu menjadi mimpi bagi Syifa yang selama dua puluh dua tahun hidup, tali kendalinya selalu dipegang oleh sang Ayah. Tapi ia tak selamanya akan bersama sang Ayah, bukan? Dan pernikahan merupakan jalan keluar. Hany...