Saat menyetujui untuk melakukan akad nikah pada malam ini juga, Syifa tak berpikir bahwa ia juga akan langsung meninggalkan rumah untuk mengikuti suaminya. Ia yang dulu begitu ingin sesegera mungkin pergi dari rumah yang menurutnya tak pernah menyajikan suka --sampai Saif ia jadikan batu loncatan agar ia cepat menikah dan pergi-- kini justru merasa begitu berat untuk angkat kaki.
Jadilah setelah akad, ia meminta sedikit dispensasi. Agar malam ini saja ia menginap di rumah untuk terakhir kali sambil membereskan barang-barangnya yang akan ia bawa ke rumah keluarga Akbar besok.
Beruntung ibu mertuanya cukup pengertian, tak mempermasalahkan dirinya untuk tinggal semalam dan wanita paruh baya itu segera pamit pulang setelah dijemput Irsyad yang jelas kebingungan, namun tak berani banyak bertanya.
Pernikahan ini, nampaknya memang terlalu mengejutkan bagi semua orang.
Bergerak pelan di atas kasur nyamannya yang biasa ia kuasai sendiri, Syifa mendesah setelah lelah merayu kantuk untuk datang dan meleburnya ke alam mimpi, menoleh ke samping demi memastikan Akbar yang ia lihat sudah terpejam sejak tadi tak terganggu oleh pergerakannya yang gelisah.
Pria itu tampak kelelahan. Namun sepertinya lelah saja tak cukup mampu mengurangi pesonanya yang dulu selalu Syifa tampik, enggan terbuai dengan paras dan sosok lembut pria ini.
Duduk perlahan, Syifa yang masih tak melepas pandangannya dari wajah prianya yang selalu menyajikan damai, menggulirkan bola mata pada perut bagian kanan Akbar yang tertutup kaos yang tadi turut Irsyad bawakan ketika menjemput ibunya.
Tadi, kaos itu tak sengaja sedikit tersingkap ketika Akbar bergerak dalam tidurnya. Dan meski samar, dapat ia lihat bekas kebiruan tercetak pada bagian yang ia ingat betul merupakan tempat Rais melayangkan pukulan beberapa hari lalu.
Syifa menggigit bibir bawahnya kuat, itu semua salahnya.
Tapi hari ini, dengan kebesaran hati tak terkira, Akbar kembali datang meminta dirinya pada Rais, menjabat tangan ayahnya tanpa peduli tangan itu pula yang memberi pria itu luka yang masih membekas di beberapa bagian.
Melepas peniti di bawah dagu, Syifa yang malam ini tidur dengan satu setel baju panjang dan jilbab yang membungkus kepala, mendesah lega kala lehernya mendapat udara bebas setelah sedari tadi ia harus menahan gerah hanya karena belum siap memperlihatkan bagian tubuhnya yang lain pada suaminya.
Tanpa menurunkan kain persegi yang kedua ujungnya sudah tak menyatu dari kepalanya, Syifa mendesah pendek sebelum kemudian mengusap wajah pelan. Ia tak dapat tidur. Tidak dengan Akbar yang di sampingnya seperti ini.
Ia yang biasa tidur menggunakan baju pendek sebab entah kenapa selalu merasa gerah ketika lewat tengah malam, kini terpaksa menahan rasa panas yang serasa membakar tubuh meski pendingin ruangan telah disetel pada suhu yang cukup rendah.
"Kamu nggak tidur?"
Segera menoleh, terutama saat sadar Akbar ikut merubah posisi menjadi duduk bersila, padahal baru saja ia perhatikan pria itu tidur dengan nyaman.
Meremas ujung selimut yang ia genggam, Syifa yang tak sadar dengan leher yang terbuka menggeleng sebagai jawaban. Ia tak mungkin mengatakan kehadiran pria itulah yang membuatnya sulit tidur, kan?
"Kamu sendiri, kenapa bangun?" Apa jangan-jangan pergerakannya tadi cukup mengganggu?
"Aku nggak bisa tidur."
Kernyitan muncul di dahi Syifa yang bergerak sedikit mundur, menambah jarak antara dirinya dengan Akbar yang selalu berhasil membuat degupan jantung mengencang. "Jadi, tadi itu kamu nggak tidur?"
"Nyoba. Tapi nggak bisa." Karena ia hanya terpejam tanpa dapat tertidur.
Akbar letih, sungguh. Tapi kantuk rasanya enggan menghampiri kala bunyi jantungnya bertalu mengerikkan, memekakkan gendang telinga. Hanya karena untuk pertama kalinya, ia tak sendirian di atas ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah [Selesai]
RomanceKebebasan. Adalah satu kata yang selalu menjadi mimpi bagi Syifa yang selama dua puluh dua tahun hidup, tali kendalinya selalu dipegang oleh sang Ayah. Tapi ia tak selamanya akan bersama sang Ayah, bukan? Dan pernikahan merupakan jalan keluar. Hany...