5. Kamu Ganteng, tapi Aku Belum Mencintaimu

2.1K 147 3
                                    

Assalamu'alaikum..
Cuma mau ngingetin, sebelum baca vote dulu, yuk..
Syukron..😊

*

Pukul empat lebih seperempat Rais keluar dari kamar mandi dengan tangan kanan yang masih setia mengusap-usap rambut basahnya menggunakan handuk. Sabtu-minggu mungkin hari libur untuk para mahasiswanya, tapi tidak untuk dosen tetap di salah satu universitas swasta sepertinya, ia masih harus mengurus banyak hal mengenai kampus tempatnya mengajar yang akan diakreditasi ulang dalam waktu dekat.

Mengenakan kembali kacamata berbingkai kotak hitam yang tampak masih awet meski lensanya sudah beberapa kali diganti. Ia menghampiri ranjang kala ponselnya diatas sana menyala menampilkan satu panggilan tak terjawab semenit yang lalu, kemudian melakukan panggilan balik setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel.

"Assalamu'alaikum" sapanya saat sambungan di seberang sana sudah terangkat

"Wa'alaikumsalam, pak Rais. Lagi sibuk?"

"Ah, enggak pak. Tadi lagi di kamar mandi aja.." jawab Rais sungkan, padahal baru satu menit dia terlambat mengangkat panggilan dari calon besan.

"Oh,, gini pak, Saif lagi libur, ba'da ashar tadi baru aja sampai Jakarta, mau nginep di rumah tiga hari katanya. Rencananya nanti malam saya suruh main ke rumah pak Rais ya, biar dia kenal sama keluarga bapak" ujar Hussain, sang calon besan yang berdarah Arab, mengingat sebelumnya Rais belum pernah bertemu secara langsung dengan si calon mantu, lantaran sedang menuntaskan pendidikan S2 sambil merintis bisnis di bidang properti bersama seorang temannya di kota kembang, Bandung.

"Wah, saya sih nggak keberatan, pak. Tapi apa nggak pengen istirahat dulu Saifnya, baru nyampe gitu"

Terdengar suara tawa dari seberang sana, "anak itu mana punya capek, sehari bolak-balik luar kota juga biasa dia. Eh, Syifa juga udah tahu kan, ya?" Tanya Hussain saat tawanya sudah mereda.

"Iya, anaknya sudah saya kasi tau kemaren"

"Setuju kan? Nanti biar ketemu sama Saif dulu, resminya nanti kita bicarakan lagi kalau Syifa sudah lulus"

Rais diam. Setuju? Ia bahkan merasa tak perlu menanyakan kebersediaan putrinya atas langkah besar yang dia buat. Menurutnya, selama itu baik untuk putrinya tak apa sedikit dipaksa di awal.

"Mau langsung ke sini juga nggak apa-apa, pak", jawab Rais santai, disusul kekehan khasnya. Menemukan celah agar tak menjawab pertanyaan dari calon besannya mengenai persetujuan dari putrinya. Saif bersedia, untuknya sudah cukup, tak perlu menanyakan sesuatu pada putrinya yang ia tahu akan berujung penolakan.

Mendengar jawaban Rais yang santai namun terkesan tak sabaran meski ia tahu teman lamanya itu hanya bercanda, Hussain tak dapat menahan tawanya lagi "Aduh.." di seberang sana ia sampai memegangi perut. "Jangan gitu.." masih mencoba menghentikan tawa yang sesekali muncul, seolah ada yang menggelitik, ia melanjutkan "biarin putri bapak fokus skripsi dulu, nanti kalau dia pulang ke Jakarta lagi, pas saya ngga sibuk, saya juga mau ketemu dia dulu. Sama-sama belum pernah ketemu"

"Oh, gitu. Kalau saya kapan aja siap, inshaallah"

"Ya sudah, gitu aja pak. Nanti ba'da maghrib Saif ke sana ya, Assalamu'alaikum"

"Iya, wa'alaikumsalam warahmatullah"

Rais meletakkan ponselnya di atas nakas samping ranjang, menoleh ke arah pintu saat terdengar suara ketukan dari luar.

Kita Nikah [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang