23. Ego

849 72 4
                                    

Bagaikan tawanan, pernikahan bagi Syifa adalah tiket keluarnya. Sayang tiket keluar yang didapat belum tentu membawanya ke tempat yang lebih layak, tapi yang jelas ia keluar. Entah di luar sana ia akan menemukan sebuah tempat indah, atau harus menetap di tempat yang bahkan lebih buruk dari penjaranya.

Sama halnya dalam kasusnya saat ini, menikah yang merupakan tiketnya meraih kebebasan entah akan akan membawanya ke arah kebahagiaan atau justru makin menyiksa, tergantung dengan siapa ia menikah.

Menikah.

Syifa yang keras kepala bahkan pernah berencana untuk menetap di Jogja setelah lulus kuliah, mencari pekerjaan apapun di sana asal tak menjadi tukang minta-minta. Selain ingin hidup mandiri, semua ia rencanakan demi tak mendapat paksaan dari orang rumah, juga sindiran halus para tetangga dan keluarga sebab keputusannya yang enggan menikah.

Tapi tak bisa. Tak semudah itu setelah ia menghabiskan nyaris seluruh hidupnya untuk menuruti segala keinginan sang ayah. Dan meninggalkan orang tua berarti juga meninggalkan ibunya. Tidak. Ia tak bisa benar-benar meninggalkan wanita yang selalu membelanya di hadapan sang ayah yang keputusannya tak dapat dibantah. Dan menikah adalah salah satunya.

Syifa turun dari ojek online pesanan yang mengantarkan tubuhnya dengan selamat sampai ke depan gerbang asrama. Ah, rupanya Syifa terlalu trauma dengan kecelakaan kecil mengenai terbelitnya rok di jari-jari motor waktu itu sehingga tiap turun dari motor dan mendapati dirinya selamat sampai tujuan, ia tak berhenti berbangga.

"Saya bantu, mbak?"

Ah, ada yang menyadari rupanya.
Syifa sudah turun sejak tadi namun tak kunjung berhasil melepas kaitan tali helm di bawah dagunya.

Mendesis, menggerutu dalam hati sebab tangannya yang masih gemetaran sejak Akbar melamarnya tadi, eh, ajakan menikah itu sama dengan lamaran, kan? Tak berhasil melepaskan helm berwarna hijau dengan logo salah satu aplikasi ojek online itu dari kepalanya. Entah karena tangannya yang tremor, atau memang kaitannya saja yang macet.

Atau keduanya?

Ck!

Bahkan ia hampir melupakan pesanan Dina yang sudah menunggu makan siangnya datang sejak tadi, nasi liwet. Sementara berbagai cemilan yang wanita hamil itu pesan, Syifa tak membelikannya satupun lantaran di sepanjang perjalanan ia menghabiskan waktu dengan melamun. Melewatkan berbagai toko oleh-oleh sampai pedagang pinggir jalan yang menjajakan camilan beraneka ragam yang mana harusnya ia berhenti di sana.

Meringis sungkan, mau tak mau Syifa harus merelakan diri melakukan adegan romansa bak kisah cinta anak muda yang sayangnya kali ini malah ia lakoni bersama bapak-bapak driver ojol.

"Ini emang suka macet, nah. Sudah."

Melepaskan helm dari kepalanya kemudian segera menarik diri, Syifa melenggang ke arah gerbang sebelum berhenti mendadak mendengar panggilan dari arah belakang. Berbalik, kedua alisnya terngkat mendapati driver tadi masih belum beranjak pergi.

"Itu, mbak. Kan pembayarannya tunai."

Syifa nyaris menganga. Berjalan cepat ke arah driver ojol yang memperlihatkan nominal angka di layar ponselnya, memberikan uang pas, kemudian segera berbalik membawa rasa malu yang--

"Mbaak ..."

Ssh ... apa lagi sih?

Tidak tahukah Syifa sedang panas dingin begini?

"Makanannya ketinggalan ini!"

Ck! Belum pernah mendapat pernyataan cinta, sekalinya pernah malah dapat bonus ajakan menikah kenapa membuatnya jadi ling-lung memalukan?

Kita Nikah [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang