Biasanya ia akan selalu memilih berdiri di posisi paling belakang tiap menghadiri acara. Menghindar serta sebisa mungkin menjauhi keramaian agar tak ada yang mengajaknya bicara.
Karena bagi Syifa yang tak menyukai keramaian, sekedar berbasa-basi dengan orang asing atau berkenalan dengan orang baru tak ada dalam kamusnya.
Namun malam ini ... acara yang diadakan ibu mertuanya adalah untuk memperkenalkan dirinya sebagai anggota keluarga baru, jadi jelas ia tak bisa bersembunyi seperti biasa.
Tampaknya akan sulit, tapi bukankah ia harus berusaha lebih keras demi Akbar? Bagus, pikirkan saja apa yang telah Akbar lakukan untuknya, agar ia dapat membalasnya dengan bersikap hangat di depan orang asing yang mana hal ini belum pernah ia lakukan sebelumnya.
"Mereka nggak menakutkan."
Menoleh pada Akbar yang sudah mematikan mesin, seolah pria itu tahu akan kekhawatirannya, Syifa yang tadi diam memperhatikan tiga buah mobil yang sudah terparkir di halaman luas rumah Akbar menarik napas dalam sebelum kemudian ia hembuskan lewat mulut perlahan. Berusaha mengurangi rasa gugup yang menyerang, mencipta keringat dingin di sekujur tubuh.
Mecari cermin, meneliti lagi penampilannya yang hari ini mengenakan gamis coklat mocca, yang entah mengapa kebetulan Akbar juga memakai kemeja dengan warna yang sama, Syifa yang sudah memastikan penampilannya sempurna dengan sedikit meluruskan jilbab yang ia kenakan, memasukkan kembali cermin ke dalam tas jinjing yang ia bawa. Jika dipikir-pikir, ia tak pernah terlalu sering bercermin seperti hari ini.
"Keluarga kamu, mereka akan suka aku?" Syifa bergumam pelan, namun masih dapat ditangkap oleh pendengaran Akbar yang tengah melepas sabuk pengaman.
"Tentu." Akbar sedikit mencondongkan tubuh pada Syifa yang seketika membeku. "Nggak ada alasan buat nggak suka".
Berdehem, memalingkan wajah yang bersemu, Syifa memainkan jemari di atas pangkuan. Sungguh, entah kenapa ia begitu tak percaya diri malam ini. "Maksud aku, aku harus bersikap gimana?"
"Cukup seperti biasa." Karena Akbar tak ingin kehilangan sosok istrinya meski hanya di hadapan keluarganya.
Memberi anggukan, Syifa menarik napas sekali lagi untuk meredam kegugupan. Keluar dari mobil kemudian menunggu Akbar yang sedang mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi.
Berjalan bersama melewati pekarangan rumah, Akbar dibuat heran dengan Syifa yang berjalan tegap penuh percaya diri, berbeda jauh dengan beberapa saat lalu.
Mengerti sedang diperhatikan, Syifa mendekat ke tubuh suaminya, lantas berbisik pelan. "Tadi itu rahasia kita." Ia pantang menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain selain pada Akbar. Semua keluhnya, hanya pria ini yang boleh tahu.
Akbar mengangguk sambil melebarkan senyum. Syifa tak pernah berubah. Selalu menampilkan dingin dan kuat di luar, namun sesungguhnya sikap dingin itu hanya sebagai tameng, karena jika sudah bersamanya perempuan ini tetap memiliki sisi lembut yang tak diperlihatkan pada sembarang orang.
Mendekat, Akbar balik berbisik di dekat telinga Syifa. "Boleh aku gandeng tangan kamu?"
Syifa menatap sang suami dengan sepasang alis menukik. Kenapa harus meminta persetujuannya? Disaat sebenarnya memang inilah yang ia mau. Ingin kembali menyentuh tangan besar yang terasa hangat dan melingkupi tangan rampingnya dengan pas, seolah memang kedua tangan itu tercipta untuk satu sama lain, namun ia terlampau gengsi untuk memulai lebih dulu. Tapi karena sudah begini ---
"Mana mungkin aku ngelarang, aku nggak sejahat itu."
--- Ia genggam erat tangan kanan Akbar yang bebas sementara tangan kiri pria itu gunakan untuk menarik koper.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah [Selesai]
RomansaKebebasan. Adalah satu kata yang selalu menjadi mimpi bagi Syifa yang selama dua puluh dua tahun hidup, tali kendalinya selalu dipegang oleh sang Ayah. Tapi ia tak selamanya akan bersama sang Ayah, bukan? Dan pernikahan merupakan jalan keluar. Hany...