Bab 7

14 1 0
                                    

Alea kelihatan fokus membaca lembaran naskah sambil sesekali menyeruput es jeruk. Ines, yang duduk berselonjor di samping Alea, asyik mencoret-coret buku catatan. Menulis outline naskah terbarunya. Setelah puas membaca, Alea akhirnya membuka suara.

"Nes, menurut Lo, Bella itu gimana?"

Bella adalah tokoh utama dalam naskah teater yang akan ditampilkan nanti. Alea-lah yang nanti akan mengisi peran itu. Bella, sosok yang cuek, tidak peduli namun peka. Dia bisa mendengar semuanya. Suara-suara yang tersimpan di pikiran orang di hadapannya, Bella bisa mendengarnya.

Dari sana, Bella akhirnya tahu. Siapa yang benar-benar tulus berada di sampingnya. Siapa yang hanya datang disaat mereka membutuhkan Bella. Dan siapa yang hanya berpura-pura baik dihadapannya.

"Jadi Bella itu berat, Al. Dia punya kemampuan yang sebenernya nyakitin dirinya sendiri. Tapi, Bella akhirnya bisa berusaha nerima itu semua. Walaupun dia dikelilingi orang-orang munafik yang cuma baik di depan tapi busuk di belakang, akhirnya dia nemuin orang-orang yang emang bener-bener tulus sama dia."

Alea manggut-manggut. "Gue juga mikir gitu. Dalem banget peran Bella ini. Gue harus nunjukin berbagai ekspresi walaupun dihadapan gue orang lain cuma diem aja."

"Makanya lo harus latihan total, Al. Nggak mudah buat meranin karakter kayak Bella ini."

Bisa dibilang, Ines terinspirasi menulis naskah ini dari dirinya sendiri. Setidaknya tuhan tidak sekejam dirinya yang menciptakan tokoh Bella dengan kemampuan itu. Setidaknya, kemampuan ini tidak menjadikan hidup Ines seperti neraka, sebagaimana yang dirasakan Bella. Ines bisa melihat warna yang beraneka dari suara. Bukan suara kebusukan yang tersembunyi dalam pikiran manusia.

"UDAH GUE BILANG, JANGAN KEGANJENAN!"

Suara seseorang dari luar saung membuat Ines dan Alea terkesiap.

'Apaan?' Alea berucap tanpa suara.

Ines menggelengkan kepala tidak tahu.

Penasaran, Alea melongok dari dinding kayu saung yang pendek. Dari sana, dia melihat empat orang gadis sedang berbincang-bincang di luar. Ketiga orang gadis diantaranya mendominasi satu yang lain.

Alea menengok ke arah Ines yang duduk penasaran.

'la-gi nge-la-brak' diktenya tanpa suara.

'si-a-pa?' Ines ikut mengeja.

Alea menggeleng dan kembali ngintip di balik saung.

"Berapa kali harus gue bilang biar elo nggak deket-deket Bara!"

Ines mengerutkan kening. Dia kenal suara itu. Itu suara Naomi, gadis menyebalkan yang dia temui di tangga rooftop waktu itu.

Bara?

Apa maksudnya Bara yang anak basket itu? Sekaligus sutradara teater untuk pertunjukan nanti? Juga Bara yang tempo hari mengantar Ines pulang karena kesorean?

Ines tidak habis pikir. Kebiasaan Naomi memang tidak pernah berubah. Anak itu masih saja senang mencari-cari masalah.

"Gue tegesin sekali lagi, gue nggak pernah keganjenan sama si Bara."

"Lo kira gue nggak tahu?" Naomi meninggikan suaranya.

BRUK

Suara seseorang yang jatuh, terdengar hingga ke dalam saung. Ines meringis. Dia tahu, Naomi pasti mendorong anak itu. Naomi memang keterlaluan.

Cekrek.

Ines terkesiap. Matanya berkedip-kedip menatap Alea yang diam mematung.

"Mampuuus."

Alea mengumpati dirinya sendiri. Tangannya dengan kesal memukul-mukul ponselnya. "Hape goblok! Ngapain ada suaranya coba! Gue kan jadi kayak emak-emak baru belajar foto-foto aja." Alea bergumam-gumam sendiri.

"Alea, elo ngapain?" Ines berbisik. Dia mengernyit melihat Alea bergumam-gumam seperti orang gila.

"WOI, SIAPA ITU!" Salah seorang diantara kedua teman Naomi berseru.

Alea berdiri menampakkan dirinya. Kini sebagian badan bagian atas Alea terlihat dari luar saung. "Oi, lagi pada ngapain disana?"

"Ngapain lo disitu?"

"Gue?" Alea menunjuk dirinya sendiri. "Gue mah emang sering nongkrong di mari."

"Eh, bentar-bentar." Alea berjongkok di lantai saung, dia meraih ponselnya yang tadi jatuh, kemudian berdiri lagi. Alea mengangkat ponselnya dan menyalakan kamera ke arah mereka berempat.

Cekrek. Suara blitz kamera yang keras mengisi keheningan di antara mereka.

"WOII!" Salah satu dari mereka menyahut galak.

Alea malah asik melihat hasil jepretannya. "Apa sih?"

"Elo gila ya?!"

"Gue waras kok." Masih menatap ponselnya.

"Lo--!"

"Apus nggak?!"

Alea melirik mereka. Dia mengangkat ponselnya ke arah mereka. "Oh ini? Iya bakal gue hapus. Lagian hasilnya jelek banget soalnya ada lo-lo pada."

Salah satu dari teman Naomi melotot galak. Dia gemas dengan Alea yang sok polos. Namun Alea nampak tidak peduli.

Naomi menggerakkan dagunya, tanpa kata meminta teman-temannya untuk pergi. Kedua temannya mengekorinya dengan memelototi Alea sebelum berbalik.

"Awas matanya ntar jatuh keluar."

Ketiga orang itu akhirnya pergi menjauh.

"Lo ngapain cari masalah sama mereka sih Al?"

"Bodo ah, anggap aja gue lagi balas dendam sama mereka."

"Gue masih Gedeg sama tuh anak soal kejadian waktu di tangga."

"Untung tuhan masih baik, jadi gue masih idup sampe sekarang."

"Coba kalo nggak, Lo pasti sekarang lagi yasinin gue di rumah."

Alea nyerocos menyampaikan semua unek-uneknya.

Ines dan Alea bersamaan melihat ke arah gadis yang duduk di jalanan taman. Keduanya mengingat anak itu, dia adalah orang yang sama dengan yang waktu itu ditampar Alea di atas rooftop.

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang