Bab 10

11 1 0
                                    

Ines duduk di salah satu bangku yang ada di dalam ruang pameran. Sebenarnya, anak kelas sebelas yang bertugas menjaga stan pameran ini. Dia hanya mampir. Alea, Agung, dan beberapa senior lain yang juga mampir, sekarang sedang membantu melayani adik-adik kelas sepuluh yang penasaran dengan klub teater. Memang tujuan kegiatan ini dilakukan untuk mengenalkan berbagai klub sekolah kepada adik kelas sepuluh yang baru masuk.

"Kostum ini bikin sendiri kak?"

Seorang anak kelas sepuluh berceletuk saat dia melihat-lihat kostum yang digantung. Kostum-kostum itu adalah kostum yang sebelumnya pernah dipakai dalam penampilan.

"Iya, ini bikin sendiri, dek. Selain lebih kreatif, lebih hemat budget juga," ujar Agung menanggapinya.

"Boong ah."

"Lah, masa boongan."

"Anak akting 'kan emang tukang bo'ong."

Anak teater yang ada disana bingung harus menjawab apa. Pernyataan anak itu memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Tapi, rasanya nyesek juga disebut sebagai golongan tukang bohong.

Alea mendorong Agung ke sisi lain dan menghadapi anak itu. "Anak akting itu bukan tukang boong, dek. Tapi pandai mengekspresikan diri. Dia bisa nunjukin wajah sedih kalo harus sedih, dia juga harus bisa marah kalo diminta marah. Itu namanya profesional." Alea sedikit menekankan saat mengucapkan kata profesional. Dia sebagai anak teater, agak tidak terima anak akting dikatai tukang bohong.

"Ah, KAKAK BELLAAA!" adik kelas itu berseru kagum.

Alea meringis. Adik itu tidak mendengarkan penjelasan panjang kali lebarnya.

"Kak Bella, tau nama saya nggak?" Adik kelas itu bertanya tidak nyambung.

Alea membaca badge nama yang tertera di seragam anak itu.

"Eza Nichol?"

"Waaah." Anak itu berseru kagum. "Beneran bisa tau pikiran orang."

Teman disebelahnya menoyor kepalanya. "Enggak-lah, tolol. Kakak itu juga bisa liat nama elo dari seragam yang Lo pake."

Nah, Bagus. Kasih pemahaman.

"Kak Bella cantik juga ya. Jadi pacar saya aja yuk kak. Biar nggak sedih mulu." Tidak menghiraukan ucapan temannya, si Eza itu malah ngegombal.

Alea yang digombali hanya terdiam cengo. Dibelakang, Ines dan kawan-kawan malah cekikikan mendengar percakapan mereka. Sedikit kagum dengan keberanian anak itu.

"Malu gue, malu." Teman Eza menggerutu.

"Maaf ya kak. Anak ini emang rada gesrek," kata salah satu dari mereka sambil menunjuk Eza.

"Udah balik, balik. Disini tuh bocah malah malu-maluin orang aja."

Teman-teman Eza mengangguk setuju.

"Buang aja ke laut yuk."

"Kasih ke ikan hiu."

"Tapi ikan hiu yang makan tomat, bukan ikan hiu yang makan daging."

"Odading mang Oleh dong?"

"Iya, yang rasanya seperti anda menjadi Snowman."

"Bukannya Ironmen?"

"Wonderwomen kali."

"Salah, yang bener itu Wiro Sableng!"

"Otak Lo semua yang pada Sableng!" Satu-satunya anak yang masih waras berseru sewot. "Lo pada bukannya buru balik, malah ikut-ikutan ngoceh nggak jelas." Dia sudah menarik lengan Eza untuk diajak keluar. Anak-anak itu akhirnya mengangguk dan bahu-membahu menarik Eza keluar dari sana.

"KAK BELLA, I LOVE YOUUU"

Suara Eza yang menggelegar terdengar hingga ke dalam stan. Mendengar itu, Alea bergidik.

"GUE BUKAN BELLAAA, WOI"

Adik-adik itu akhirnya pergi. Suara Eza pun sudah tidak terdengar lagi.

Alea yang masih bergidik, berjalan ke arah Ines. "Oi Nes, balik ke kelas yuk. Capek gue. Niat kesini pengen refreshing bentar, ehh malah ketemu bocah aneh bin Ajaib." Alea ikut duduk. "Gue digombalin lagi," ujarnya.

"Abis tampang kak Alea emang cantik sih." Salah satu adik kelas sebelas disana menyahut. "Kalo jamet bilang mah, 'MasyaAllah, Ukhti."

"Tampangnya sih boleh MasyaAllah. Tapi, kelakuannya--" Agung berdecak sejenak, "ASTAGHFIRULLAH."

Bener juga.

Celetukan Agung mengundang tawa anak-anak yang ada disana.

Alea mendelik sinis pada Agung. "Sirik aja Lo, Gung." Alea membalas, "Daripada elo. engga tampang, engga kelakuan, semuanya ...."

"ASTAGHFIRULLAH!!" Kali ini anak-anak teater ikut berteriak kemudian tertawa lebih keras melihat wajah sewot Agung.

Ditengah tawa yang menggema, dua orang anak kelas sepuluh menyelonong masuk ke dalam stan teater.

"Ini klub dzikiran ya, kak?"

Seketika anak-anak disana terdiam.

Apa katanya?
Klub dzikiran?
Sejak kapan ada jenis klub seperti itu?

"Bukan, dek." Alea menyanggah. "Ini klub teater."

"Oh."

Kedua anak itu kemudian menyelonong pergi keluar, tanpa pamit. Kedua anak itu seperti jelangkung. Datang tak diundang, pulang pun tak diantar.

Anak-anak disana menatap kepergian keduanya dalam diam, lagi.

"Lo harusnya bilang, 'iya, dek. Ini klub dzikiran' jadi kan tuh adik kelas nggak cabut gitu aja."

Alea menjitak kepala Agung, gemas.

"Adoww."

"Tuh adik kelas juga nanyanya aneh aja." Anak kelas sebelas membela Alea. "Sejak kapan coba ada klub dzikiran?"

"Sejak Kim Jong Eun menjabat jadi presiden Korea Selatan?"

"Itu mah nggak akan pernah kejadian!"

"Bisa aja. Masa depan siapa yang tahu."

"Kalo dia menjabat jadi presiden Korea Selatan, bisa-bisa drama Korea juga diilangin."

"Nggak boleh!" Alea berdiri. Setiap hal yang berhubungan dengan hal-hal yang mengancam kepunahan drama Korea, dia akan berdiri di garis depan. "Sampe kapanpun, Kim Jong Eun nggak boleh jadi presiden Korea Selatan!"

Ines menyentuh kepalanya yang sedikit pening. Sebenarnya, ada apa dengan anak-anak teater hari ini? Receh sekali.

"Gue balik ke kelas dulu," kata Ines seraya berdiri dari kursinya.

"Lo pengen balik?"

Ines mengangguk. "Kepala gue pusing."

"Gue ikut."

"Gue juga."

"Me to baby."

"Gue juga pengen tidur di kelas."

"Gue juga laper pengen makan."

Ines menatap teman-teman seangkatannya satu persatu. "Kalo Lo pada balik juga, siapa yang jaga stan?"

Mereka hanya cengengesan.

Namun dengan baik hati, anak kelas sebelas yang ada disana menyahut. "Kita aja nggapapa kok, kak. Kan emang jaga stan tugas kita juga."

Ines mengangguk-angguk. "Kalo gitu, kita balik dulu ya, dek. Titip stan ya."

"Iya, kak," kor mereka.

Ines keluar dari stan pameran klub teater. Kepalanya berdenyut. Entah kelelahan atau pusing mendengarkan cetolehan anak-anak di stan, sesampainya di kelas, Ines akan tidur.

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang