Bab 14

6 1 0
                                    

Alea menggerak-gerakkan tubuhnya, pemanasan di pinggir lapangan sepak bola. Sekarang sudah jam tiga, langit sudah tidak terlalu terik. Alea yang sudah berpakaian olahraga, sore ini akan mengikuti lomba estafet lari.

Beberapa siswa tampak duduk bergerombol di pinggiran lapangan. Seperti teman-teman sekelas Ines saat ini.

"Lawannya siapa?" Ines yang berdiri dihadapan Alea bertanya.

Alea mengerdikkan bahu. "Katanya sih anak kelas sepuluh."

Disamping Alea, satu orang cewek dan cowok sekelas mereka juga akan ikut bersama Alea. Rini dan Gio. Keduanya juga ikut pemanasan seperti Alea.

"Bisa menang dong."

"Bisa-lah. Kan gue yang main," kata Alea dengan percaya diri.

"Bagusss," sahut Kiki sambil mengacungkan jempol. Dia ikut disana sambil makan keripik. "Gitu dong sombong," lanjutnya.

"Harus dong," sambut Alea. "Kalo gue menang, elo harus ngasih setengah bekel rengginang elo ke gue, Ki."

"Emang kalo elo menang dapet apaan?" tanya Kiki. "Sok aja sih gue mah, lagian cuma setengah. Bekel gue masih banyak."

"Ada rendang, keripik pisang, kacang .... "

"Makanan mulu elo mah, Ki. Kapan langsingnya," Alea berceletuk.

"Bodo amat," ujar Kiki tidak peduli. Kemudian dia berjalan pergi.

"Dapet urutan keberapa kelas kita?" Kali ini Doni yang bertanya.

"Ketiga."

"Mending deh. Nggak lama-lama amat nunggunya."

Pritt

Suara peluit tanda pertandingan akan dimulai. Mereka menyingkir dari arena yang dipakai pertandingan. Kemudian duduk lagi menggelosor di sisi rumput lapangan yang kosong. Disana sudah ada Kiki dan teman yang lain yang sudah asyik duduk.

Pertandingan pertama dimainkan oleh anak kelas sebelas. Hanya dalam waktu singkat pertandingan itu selesai. Itu berarti sebentar lagi kelas Ines juga akan main.

"Kalo tanding estafet lari mah cepet. Nggak kayak basket yang bisa dua harian."

"jadi, kemungkinan bisa selesai hari ini ya?"

"Iya."

Alea melepas syal klub teater yang tadi tersampir di lehernya. Tangannya kemudian memasangkan syal itu di kepalanya. Seperti seorang pejuang.

pertandingan kedua sudah berjalan. Alea dan kedua kawannya mendekat ke arah tempat start pertandingan. Menunggu giliran main.

"SEMANGAT!" seru anak-anak kelas.

Disana, tim yang akan menjadi lawan mereka sudah menunggu. Tiga orang anak yang terdiri dari dua orang anak perempuan dan satu laki-laki. Benar, mereka adalah anak-anak kelas sepuluh.

"Kak Bella?"

Alea dan kedua temannya menengok saat suara seseorang memanggil ke arah mereka. Disana, seorang bocah kelas sepuluh tengah tersenyum lebar kearah Alea seperti bocah TK. Walaupun sebenarnya tidak pantas disebut bocah, karena anak itu jauh lebih tinggi darinya. tapi Alea tidak peduli itu.

Alea menyipit, sepertinya dia kenal bocah yang kelihatannya menyebalkan itu.

"Elo manggil gue?" Alea menunjuk dirinya sendiri.

Anak itu mengangguk.

"Gue bukan Bella," katanya Alea singkat.

"Iya bener kak Bellaaaa," ulang anak itu dengan senang.

Alea mendengus. Siapa lagi bocah ini.

Melihat Alea yang tidak peduli, anak itu menyahut lagi. "Saya Eza Nichol, Kak."

"Gue nggak nanya."

"Saya panggil Bella aja ya, Kak."

"Nama gue bukan Bella."

"Terus?"

Pertanyaan itu menggantung. Panitia lomba memanggil mereka untuk segera bersiap di posisi masing-masing. Tenyata pertandingan sebelumnya sudah usai. Tanpa menggubris anak itu, Alea berjalan menuju titik ketiga, tempatnya mulai berlari. Dia juga yang akan membawa tongkat ke garis finish. Yang menjadi penentu kemenangan pertandingan.

"Wah saya bakal lawan kak Bella dong." Anak itu ternyata masih mengekor Alea.

"Bagus deh."

Alea kini berhenti di posisi tiga. Eza sudah nangkring di posisinya di urutan kedua tim lawan. Alea melirik anak perempuan cungkring disebelahnya yang telah siap di posisi. Anak itu memiliki kesempatan lari lebih cepat dari Alea, karena pasti langkahnya lebih lebar. Tapi, Alea menggeleng. Dia harus optimis.

'Demi rengginang Si Kiki, ngelawan orang cungkring ini pun gue jabanin.'

Ines menatap tim kelasnya dari tempatnya duduk. Dia juga sedari tadi memperhatikan interaksi Alea dengan anak kelas sepuluh itu.

Ines menyipit. Jika dia tidak salah, anak itu yang tidak tahu malu menggombali Alea di Stan klub teater kemarin. Dan kali ini, anak itu akan tanding melawan tim kelas mereka. Ines jadi mempunyai firasat buruk.

Tim kedua sudah selesai. Itu berarti pertandingan Alea akan dimulai.

Rini, anak pertama yang membawa tongkat segera berlari setelah peluit ditiup. Dia dan lawannya berlari imbang. Keduanya sampai bersamaan di titik kedua. Gio segera menyambut tongkat itu dan berlari. Sayangnya, dia sedikit tertinggal. Dia kalah cepat. Ines tidak menyangka, si Anak tidak tahu malu itu bisa berlari lebih cepat.

Namun, seperti ada slow motion alami, Anak tak tahu malu itu mengangsurkan tongkat timnya pada Alea, bukan pada teman satu timnya yang tinggi menjulang itu. Alea tanpa berpikir panjang, malah membuang tongkat itu keluar lapangan.

Setelah menyambut tongkat yang dibawa Gio, dia langsung berlari cepat ke garis finish. Tidak memperdulikan Eza yang kini menatapnya hampa.

"GOBLOGGG!!" Teman sekelas Eza berteriak kesal dari pinggir lapangan.

"OTAK ELO DIMANA, JA! DIGORENG SAMA BU IBU KANTIN?!"

"OTAKNYA DIGONDOL KUCING KALI."

"BUCIN BOLEH, TAPI NGGAK GITU JUGA CARANYA!"

"GENERASI BUCIN AKUT BEGITU, BUANG AJA KE LAUT, BIAR DIMAKAN LUMBA-LUMBA"

Para penonton lain tertawa. Sejak kapan lumba-lumba memakan manusia?

"LUMBA-LUMBA MANA ADA MAKAN ORANG. HARIMAU LAUT KALI."

Ini lagi.

"BODO AMAT. YANG PENTING MENGHILANG DARI BUMI. MERESAHKAN."

Priittt

Suara peluit tanda pertandingan usai ditiup. Para penonton sedari fokus pada percakapan anak-anak kelas sepuluh yang mencak-mencak marah pada Eza. Hingga tidak tahu bahwa Alea sudah mencapai garis finish entah sejak kapan.

Anak cungkring menyusul Alea setelah mengambil tongkat yang dilempar jauh ke luar lapangan. Jelas dia tertinggal dan kalah. Setelah mencapai garis finish, anak itu berbalik ke arah Eza. Dengan gemas, dia memukul lengan Eza dengan tongkat kayu itu.

"OON!!!" raungnya pada Eza.

Sudah ditolak, dibully, sekarang kena pukul lagi.

Bukannya kasihan, orang yang melihat Eza malah tertawa di atas penderitaannya.

'cinta itu bukan cuma buta, Tapi bisa membuat orang yang seharusnya terampil menjadi bodoh tidak berguna.'

Ines jadi ragu untuk jatuh cinta. Ines bukannya takut jatuh cinta, tapi apakah dia akan menjadi sebodoh itu juga jika kelak dia jatuh cinta dengan seseorang?

Ines bergidik.

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang