Bab 16

7 0 0
                                    

"Jadi, sampe kapan kita terus-terusan nongkrong disini? Sampe Mbak Suzy balikan lagi sama mas Limin?"

Alea yang bertanya. Anak itu menyuruput cappucino dinginnya yang tinggal setengah dengan malas. Jika dihitung, sudah ketiga kalinya mereka ke cafe ini. Tepatnya, sejak Ines menceritakan tentang lelaki Hoodie merah itu.

"Sampe gue bisa balikin Hoodie ini ke orangnya."

Alea mendengus. "Gimana ceritanya? Elo kira ini sinetron yang bisa bikin kebetulan kejadian dua kali? Nama tuh orang aja elo 'kan nggak tau, Nes."

Benar. Yang Ines tahu tentang orang itu hanya wajahnya.

Ines pernah berpikir untuk menitipkan Hoodie ini ke karyawan cafe, tapi karena dia sama sekali tidak tahu nama pemiliki benda ini, sehingga pihak cafe menolaknya. Tidak ada cara lain bagi Ines untuk mengembalikan benda ini kembali selain bertemu langsung dengan orangnya.

"Terus gimana menurut elo, Al?"

"Elo buat aja snapram sambil nunjukin Hoodie itu." Alea melirik totebag di atas meja. "Siapa tau nanti ada yang ngerespon, nah terus ajak deh ketemuan."

"Kayak Cinderella aja Al." Indi ikut nimbrung. "Terus nanti ada yang ngaku-ngaku lagi. Mending kalo yang dateng pangeran ganteng, lah kalo orang jahat 'kan serem," lanjutnya sambil bergidik.

Ines manggut-manggut. Benar juga.

"Yaudah sih, Nes. Elo simpen aja dulu. Nyari orang yang elo nggak tahu alamat atau namanya itu susah," usul Alea lagi. "Kecuali kalo elo anggota FBI atau apa."

Indi ikut mengangguk, setuju dengan usul Alea. Setidaknya benar, bahwa mencari orang itu seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami. Sulit. Bisa saja cowok itu datang kembali kesini, tapi disaat Ines tidak ada.

"Mengulang kebetulan itu memang sulit."

---

Ines bersandar santai di kursi sofa ruang tv di rumahnya. Televisi dihadapannya menyala, menayangkan kelakuan absurd spongebob dan sahabat baiknya, Patrick. Yang sekarang sedang tertawa-tawa menangkap ubur-ubur. Hewan yang salah satu spesiesnya adalah yang paling mematikan di dunia.

Bukan Ines yang memilih tayangan itu, tetapi dua orang yang sekarang sedang asyik main monopoli sambil menggelosor di karpet.

"Om dapet kartu, Nes," kata Dani pada ponakannya yang asyik menulis.

"Palingan suruh denda," cerca Ines tidak peduli. Hanya ada satu kamus dalam permainan monopoli pamannya, yaitu 'anda belum beruntung'.

"Selamat anda masuk penja-" Dani tidak melanjutkan kalimatnya.

Alea yang sudah bisa menebak kartu yang didapat Dani, terbahak.

"Ines, om masuk penjara," kata Dani memelas.

"Bodo amat."

"Bantuin dong Nes biar nggak masuk penjara."

Ines melirik pamannya itu. "Gimana caranya?"

"Ines jadi pengacara ya."

"Jangan ngadi-ngadi, Om." Ines geleng-geleng kepala. "Mana ada pengacara di mainan monopoli."

"Ada."

"Sejak kapan?"

"Sejak tadi. 'kan Om yang bilang."

Ines geleng-geleng kepala lagi. Lalu kembali asyik menulis.

"Om." Alea memanggil Dani. "Tau nggak, si Ines dari minggu-minggu kemarin, lagi nyariin--"

Ucapan Alea terpotong. Ines yang sudah tahu Alea akan berkata apa, segera melempar bukunya dan membungkam mulut anak itu dengan tangannya.

"Diem," desis Ines.

"Mmmmmmm--" Alea menggeleng-gelengkan wajahnya, meminta Ines melepaskannya.

"Kalian ini kenapa?" Dani bertanya heran.

"Nggak pa-pa kok, Om," kata Ines. Dia kemudian melepaskan tangannya dari Alea.

"APAAN SIH LO, NES," cecar Alea kesal. "Gue cuma mau bilang, kalo elo tadi nyariin kunci motor."

Ines mendesah lega. Ternyata bukan hal yang dia pikirkan. Dia kira Alea bakal mengadu soal Hoodie milik cowok misterius itu. Jika om-nya tahu, habislah Ines ditanyai ini-itu.

"Kunci motor? Buat apa?"

Sebelum Alea membuka suara menjawab Dani, Ines sudah kabur dan ngacir ke dapur. Dia tidak ingin mendengar omelan panjang kali lebar pamannya, karena Ines berniat membuang kunci motor pamannya itu.

---

Diana menatap atmosfer meja makan yang sedikit berat. Sejak mulai makan, adiknya terus-terusan menatap kesal anaknya. Anak yang ditatap, malah asyik makan dan hanya menganggap tatapan Dani seperti CCTV mati.

"Kenapa sih, Dan?" Diana akhirnya bertanya kepada sang adik.

Dani akhirnya mengalihkan tatapannya dari Ines, kemudian menatap kakaknya. "Si Ines, masa sampe kepikiran buat buang kunci motor kesayangan Dani, kak," tutur Dani dengan kesal. "Dikira motor Dani mainan rusak kali ya."

Diana terkekeh. Urusan motor besar itu masih belum selesai rupanya. Ines masih menolak mentah-mentah keberadaan motor besar itu di rumah.

"Ines takut naik motor gede begitu katanya, Tante." Alea menimpali. "Buat berada di jalanan aja udah ngga aman, apalagi pake motor gede begitu yang biasanya suka kebut-kebutan."

Diana manggut-manggut memahami perkataan Alea.

"Bener begitu, Nes?"

Ines hanya mengangguk.

Memang sebagian itu benar. Ines hanya masih sedikit trauma karena kecelakaan tiga tahun lalu. Dan mungkin, sebagian besarnya karena kesal selalu melihat motor besar dengan warna norak yang juga menjadi kendaraan sehari-hari pamannya saat mengantar Ines.

"Nes, kamu harus belajar ngelupain masa lalu itu, Nes. Salah satunya ya dibiasain naik motor itu." Dani berucap.

Ines juga tahu itu. Walaupun sampai sekarang dia tidak tahu apa ayng yang terjadi saat itu, Ines masih bisa membayangkan betapa mengerikannya kejadian tiga tahun yang lalu.

"Itu kalo om bawa motornya bener. Inimah bawa motor gede gitu, tapi kayak orang lagi kesurupan pembalap Rossi. Sepanjang jalan, Ines jadi istighfar terus dalam ati, Om. Wanti-wanti barangkali nyawa tiba-tiba melayang. Sambil tengok kanan-kiri, barangkali malaikat Izrail ngikutin."

---

Ines sudah rebahan di ranjangnya. Pukul 23.00, tapi Alea masih asyik menatap layar laptop sambil tengkurap. Anak itu sedang maraton drama Korea 'sweet home'. Sweet Home yang hanya sekedar judul, tapi alur di dalamnya penuh unsur yang sama sekali tidak menggambarkan sweet home.

"ADUUHH.. MAS KUNANG-KUNANG DISINI GANTENG BENER. PAKE KACAMATA LAGI. AURANYA ICE BEAR BENERR.." Alea menyerocos.

"Al, ya Ampun."

Alea menengok.

"Guee pengen tidur. Elo kalo mau nonton, nonton aja, tapi jangan berisik."

Alea mencebik. "Iya. iya."

Anak itu akhirnya diam. Ines kembali memejamkan mata hendak tidur.

"GILSS! MONSTERNYA SEREM BENEER!!"

Ines kembali membuka mata terkejut. Dengan gemas dia melempar boneka panda kecil ke arah arah anak itu.

"Sorry.. sorry.." Alea mencicit. Dia mengangkat kedua jarinya, berjanji tidak berisik lagi.

Ines tidak percaya. Tidak berapa lama lagi, anak itu pasti akan berteriak-teriak tidak jelas lagi. Dan jika anak itu berteriak lagi, Ines sudah bersiap melempar boneka emoticon marah padanya. Tunggu saja.

"ANJIIRR! MAS KUNANG-KUNANG JANGAN MATI!"

Cukup sudah!

"AL INI UDAH MALEEM! KALO ELO PENGEN TERIAK-TERIAK MENDING SEKALIAN DIATAS POHON DEH!"

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang