Bab 18

9 0 0
                                    

Ines kini berdiri di pinggir jalan. Tepatnya di tempat penyeberangan yang ramai. Di masing-masing sampingnya, berdiri Alea dan Indi. Ketiganya hendak menuju Kafe di seberang jalan.

Itu bukan Kafe si Cowok Hoddie merah. Bukan. Kafe itu adalah tempat pertemuan mereka dengan Bang Putra, teman SMA abangnya Alea. Hari ini, seperti rencanq dari jauh hari, mereka akan tour keliling Universitas A. Kampus tujuan Ines dan Alea setelah lulus nanti. Sedangkan Indi, anak itu belum bisa menentukan untuk melanjutkan pendidikan di dalam atau luar negeri.

"Katanya, Bang Putra udah ada di Kafe," ucap Alea pada keduanya.

"Oke," jawab Indi sambil mengangguk.

Namun, Ines tidak menjawab bahkan sekedar mengangguk pun tidak. Pandangannya lurus dan wajahnya semakin lama semakin pias.

Merasakan aura yang tidak enak dari sahabatnya, Alea akhirnya bertanya, "Nes?"

"Jangan."

Jawaban tidak nyambung yang keluar dari mulut Ines membuat Alea mengerutkan kening. Indi ikut menatapnya penasaran. Dia menatap Alea dan memberi kode dengan mata. Namun, anak itu menggeleng. Sama-sama tidak mengerti.

"Jangan," kata Ines lagi sambil menggeleng.

"Ada apa, Nes?" Akhirnya Alea menyuarakan rasa penasarannya.

DUAKK

Suara benturan keras menjadi jawaban pertanyaan Alea yang menggantung. Bukan hanya Alea yang kaget, namun beberapa orang yang juga berdiri di sekeliling tempat penyeberangan ikut terlonjak.

"ASTAGHFIRULLAHAL ADZIM!"

Seorang cewek dua puluh tahunan terletak di tengah jalan. Darah mengalir pelan dari kening wanita itu. Mobil yang menghantamnya sejauh 3 meter itu akhirnya berhenti melaju.

"ADA TABRAKAN! CEPET TELEPON AMBULANS!" teriak seseorang yang tidak mereka kenal.

Orang-orang yang berada di sekitaran jalanan itu lambat laun berkerumun di bahu jalan. Alea, Indi, dan Ines masih berdiri anteng di tempatnya.

Tiba-tiba Ines memegang bahu Alea. Badan anak itu gemetar.

"Elo nggak papa, Nes?"

Ditanya begitu, Ines malah berjongkok. Kakinya sudah tidak bisa lagi menopang beban tubuhnya.

"Mbak-nya nggak papa?" Seorang cowok yang tampaknya anak kuliahan menghampiri mereka bertiga. Mungkin dia khawatir, melihat Ines yang tiba-tiba berjongkok.

Alea menggeleng. Sudah jelas Ines sekarang tidak baik-baik saja. Alea tidak ingin asal menebak, tetapi Ines sepertinya sudah sadar bahwa cewek tadi memang berniat bunuh diri, dengan menabrakkan diri di jalanan. Alea tidak tahu bagaimana sahabatnya bisa seperti itu, namun yang paling penting sekarang adalah memastikan keadaan Ines baik-baik saja. Alea jelas syok, tetapi Ines tampak jauh lebih syok daripadanya.

"Kita nggak papa, mas. Tapi temen saya kayaknya syok." Indi yang menjawab.

"Yaudah, baiknya dibawa ke tempat yang lebih baik dulu, mbak. Disini banyak orang wara-wiri. Takutnya malah nanti keinjek."

Indi dan Alea mengangguk-angguk. Keduanya kemudian ikut berjongkok dan menopang lengan Ines.

"Nes!"

Baru berjalan beberapa langkah, Ines jatuh pingsan. Ketiganya melumpruk bersamaan, karena tidak siap dengan keadaan Ines yang tiba-tiba pingsan.

"Nes! Ines!"

"Mas, tolong. Teman kita tiba-tiba pingsan," seru Indi sambil berkaca-kaca.

Cowok itu ikut berjongkok dihadapan mereka. "Maaf ya, mbak," ucap cowok itu sebelum akhirnya membawa Ines dalam gendongannya.

"Saya bawa ke kafe B saja ya, mbak." Alea dan Indi tidak menjawab. Mereka hanya mengikuti cowok itu hingga masuk ke kafe yang berada di belakang mereka tadi.

Cowok itu membaringkan Ines pada kursi panjang yang ada di dalam kafe. Dia membuka tas punggungnya dan mengambil sebotol kecil cairan bening. Minyak kayu putih.

Dia membuka tutup botol itu dan menuangkannya sedikit di jari telunjuknya. Jari itu hampir saja menyentuh kening Ines, sebelum akhirnya dia sadar dua orang cewek yang juga mengikutinya tadi hanya memperhatikannya.

Cowok itu menarik tangannya. Dia berbalik dan mengangsurkan botol kecil itu ke tangan Alea. Anak itu segera berjongkok dan mengoleskan minyak kayu putih ke kening Ines dengan khawatir.

"Mbaknya kayaknya syok. Mungkin bentar lagi juga sadar," kata cowok itu.

"Makasih banyak ya, mas."

Cowok itu tidak menjawab karena tiba-tiba telepon di sakunya berdering.

Dia berdecih. "Apa lagi sih?" sembur cowok itu pada lawan bicaranya di telepon, kemudian menjeda sejenak.

"Iya gue bakal ke kampus sekarang."

Dia menjeda lagi.

"Bukan. Kalo gue, elo mana bisa nelpon gue sekarang."

"Berisik," kata Cowok itu sebelum mematikan teleponnya dalam sekali tekan. Cowok itu menatap kembali ke arah ketiga gadis yang tadi ditolongnya. Alea dan Indi segera mengalihkan pandangan karena diam-diam mendengarkan ucapan cowok itu di telepon.

"Kalo ada apa-apa, kalian tinggal minta tolong ke pihak kafe aja." Alea dan Indi mengiyakan sebagai balasannya.

Cowok itu akhirnya pergi keluar kafe. Dibawah tatapan Indi dan Alea.

---

Ines menyeruput teh hangat di meja. Kedua temannya menatapnya khawatir.

"Gue nggak papa kok."

Alea memicing. Tidak percaya.

"Gue cuma syok."

Anak itu masih tidak percaya. Dia juga syok. Tetapi, tidak sampai pingsan.

Ines menghembuskan napas lelah. "Gue keinget kejadian dulu, pas gue kecelakaan."

"Bukannya elo lupa?" tanya Alea lagi. Indi hanya menyimak. Dia bahkan baru tahu, bahwa Ines pernah mengalami kecelakaan.

"Mm.. gimana ya, lupa sih. Tapi apa yang gue rasain saat itu masih kerasa jelas."

Rasa sakit, bingung, dan kehilangan. Kejadian tadi, membuat Ines seperti merasakan lagi, apa yang dia alami dulu.

"Terus tadi.... Ehmm, nggak jadi deh." Alea meralat ucapannya.

"Apa, Al?"

"Ehmm.." Alea awalnya ragu, namun dia akhirnya membuka suara, "tadi kenapa elo bilang jangan? Firasat gue aja atau emang elo udah sadar kalo orang itu bakal bunuh diri?" Alea menatap Ines dengan selidik.

Ines terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa dia bisa melihat warna dari lagu yang didengarkan orang itu. Sangat mencekam. Penuh keputusasaan. Yang sangat.

Karena Ines tahu, salah satu alasan terbesar seseorang nekad bunuh diri adalah keputusasaan.

"Gue liat cewek itu sengaja maju padahal jalanan masih rame. Firasat gue buruk. Dan bener, orang itu akhirnya ketabrak."

"Gue udah bilang ke Bang Putra, kayaknya tour hari ini dibatalin dulu. Lagian keadaan sekitaran kampus lagi nggak baik."

Indi dan Ines hanya mengangguk mengerti. "Gue tadi pingsan ya?"

"Iya."

"Gue pasti bikin kalian pada khawatir," kata Ines merasa bersalah.

"Jelas, Nes," sambut Alea langsung. "Tapi, untungnya tadi ada mas-mas yang baik bantuin gendong elo sampe kesini."

"Mas-mas? Siapa? Bang Putra?"

Indi dan Alea menggeleng. "Bukan."

Tapi, Alea mengangkat Sebotol kecil minyak kayu putih di hadapan mereka. "Kayu putih."





PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang