Bab 17

15 1 0
                                    


Hari ini, tidak seperti biasanya. Ines berdiri dibalik jeruji luar sekolah bersama anak-anak lain yang kini merengek minta dibukakan jalan. Sayangnya, satpam galak yang kini berdiri tepat dibalik jeruji pagar sekolah, tidak akan mau membukanya, terkecuali jika itu adalah guru.

Oiya, satu lagi. Alea. Ines hampir lupa pada sahabatnya yang juga merupakan pujaan hati pak Satpam satu ini.

Hari ini anak itu tidak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tidak terlambat. Jika saja anak itu terlambat, Ines bisa ikut nyempil saat Alea dibebaskan masuk tanpa hukuman.

"Pak, pagi ini saya ada kelas Pak Karjana. Ayolah, pak. Tau sendiri 'kan Pak, gimana galaknya pak Karjana sama anak yang telat. Kasihanilah saya. Bisa-bisa dikutuk tujuh turunan kalo beliau udah dikelas sebelum saya." Seorang anak bercerita memelas.

Ines tidak tahu anak itu mengarang atau tidak. Tetapi, yang ines tahu, pak Karjana memang galak. Bahkan suaranya ketika marah, bisa membuat cicak di dinding kelas meringkuk ketakutan.

Namun pak Satpam menggeleng. Kekeh bin tidak mau tahu. Tidak ada yang boleh masuk setelah bel sebelum mendapat hukuman.

"Iya pak. Ayo, pak. Sebenarnya saya nggak telat, pak. Bisa aja saya udah sampe ke sekolah lima menit sebelum bel. Ini semua gara-gara sopir angkot yang ngetem dulu di pom bensin, Pak. Udah mah mampir dulu beli rokok sama kopi di warung pinggir jalan. Emang nggak tau tuh pak sopir gimana menderitanya murid kalo telat."

Ines geleng-geleng kepala. Itu sebenarnya alasan yang bisa dihindari. Sudah resiko naik angkot memang seperti itu. Belum lagi jika sopir sedang mengejar setoran. Bisa-bisa mobil angkot hanya bersemedi di satu tempat selama berjam-jam tanpa memperdulikan penumpang lain yang sudah mengomel.

"Saya juga harusnya nggak telat, Pak. Cuma tadi ada rombongan bebek nyebrang di jalan raya. Kan kalo diterobos bisa panik itu bebek, Pak. Berterbangan di jalanan."

Alasan yang logis. Bisa diterima. Pikir Ines. Tapi, sejak kapan ada bebek nyebrang di tengah jalan raya? Ada-ada saja.

"Bapak, ban mobil saya kempes, Pak. Makanya saya telat."

"Emang kamu sekolah bawa mobil?"

"Tiap hari, Pak," jawabnya. "Mobil mamang angkot. Hehehe."

Pak satpam sudah mulai gemas ingin menjitak anak itu jika saja keduanya tidak dihalangi pagar sekolah.

"HALO PARA BANGSAWAN!"

Seketika anak-anak disana diam. Sosok guru tinggi besar yang kini berdiri dibelakang Pak Satpam tersenyum ramah. Anak-anak menunduk. Tidak tertipu dengan senyuman itu. Tidak akan. Pak Karjana tidak akan tersenyum dengan mudahnya pada anak-anak yang terlambat.

Pak Karjana tersenyum ramah? Tidak mungkin!

Anak yang tadi membicarakan Pak Karjana kini terlihat gemetar. Habis sudah. Dia pasti akan kena sanksi dua kali.

"Wafat gue. Wafat!"

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ya, Bro. Semoga amal ibadah elo diterima disisi pak Karjana."

Bisikan mereka cukup terdengar di telinga Ines yang tidak jauh dari sana. Ines ingin tertawa saat itu juga, namun saat dia melirik ekspresi pak Karjana yang masih tersenyum menyeramkan, membuat saraf tertawanya melempem seketika.

"Pak Taryo, kenapa para bangsawan dibiarin diluar gitu? ayo dibukakan, biarkan para bangsawan masuk," kata Pak Karjana pada Pak Satpam.

Pak Satpam yang sedari tadi kekeh tidak mau membukaan gerbang, kini langsung membuka kunci dan menarik salah satu sisi sehingga jalan masuk ke dalam sekolah terbuka lebar.

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang