2

1.2K 185 16
                                    


Keributan di luar mobil Sita mulanya hanya dengung rendah percakapan, sebelum meningkat menjadi ketukan di jendela.

Pertama ketukannya pelan, tetapi saat Sita tak kunjung terjaga, meningkat jadi campuran antara urgensi dan kepanikan.

"Langsung tangkap saja Pak, tunggu apa lagi!" Suara seorang perempuan.

Mata Sita langsung membelalak lebar, kini yakin dia tak sedang bermimpi. Dia duduk tegak di kursi mobilnya, tak peduli gerakan mendadak itu membuat kepalanya pusing. Setidaknya sudah pukul setengah tujuh pagi, matahari mulai menembus di antara dahan-dahan langsing pohon kayu putih.

Ada dua orang polisi berseragam, setidaknya dua orang lain yang berkerumun di samping mobil Sita. Salah satu petugas yang sepertinya diserahi tanggung jawab mengetuk jendela mobil yang pertama kali menyadari Sita sudah terjaga, seketika berkata, "Selamat pagi, Bu, mohon keluar dari kendaraan Anda."

***

Sita masih belum memutuskan mana yang lebih buruk, dikerumuni puluhan orang yang mengira dia mati seperti beberapa bulan yang lalu, atau dikerumuni tiga orang yang kemudian memanggil dua orang polisi.

Tiga orang yang melaporkan Sita kini hanya menatap Sita dari kejauhan, mereka menggunakan setelan yang luar biasa rapi, satu-satunya wanita mengenakan blus biru kelasi sementara dua orang rekan prianya menggunakan setelan jas dan celana, dengan kemeja putih yang disetrika kaku. Mereka berdiri di samping sebuah Mercedes pick up yang gagah mengilap tapi jelek luar biasa.

Atau mungkin bagus, tapi tidak sesuai dengan selera Sita saja.

"Bisa sebutkan apa yang sedang Ibu Sita lakukan di sini?"

Sita sudah ditanyai selama sepuluh menit, mengulang penjelasan berkali-kali. Untuk keempat kalinya, kini Sita kembali menjelaskan, dilengkapi dengan wajah putus asa. "Saya cuma numpang parkir, Pak, saya capek dan kelelahan. Daripada saya membahayakan pengguna kendaraan yang lain, kan?" kata Sita, nada suaranya lebih memelas dari tiga usaha penjelasannya yang lain.

Sita melirik ke arah rumah besar di ujung jalan aspal, masih setidaknya seratus meter dari sini. Di tengah terangnya pagi, rumah itu masih seperti raksasa tidur. Cat putihnya tak bercela, kolom-kolom putih kokoh menopang balkon lantai dua. Bentuknya yang kotak terlihat maskulin, dengan aksen besi dan teralis tempa warna hitam di balkon dan jendela. Hanya ada lapangan rumput, membentang tercukur rapi sejauh mata memandang. Di kejauhan, tersembunyi di balik jajaran pohon kayu putih, terlihat tembok bata mengelilingi properti ini.

Pagi ini cukup indah. Suara decit burung liar, suara serangga, lembapnya embun dan aroma samar khas kayu putih yang terbawa angin hampir membuat Sita lupa kalau dia hanya berjarak satu jam dari Jakarta.

Kini Sita menyadari siapa pun pemilik rumahnya, dia pasti sangat kaya hingga bisa membeli privasi dan lahan seluas ini di pinggir kota.

"Apakah pemilik rumah ini keberatan saya parkir di sini?!" tanya Sita, setengah berteriak pada tiga orang berpakaian rapi di samping pick-up Mercedes beberapa belas meter dari tempat Sita diinterogasi oleh dua polisi. "Saya ingin minta maaf!"

Kalau Sita tak berhasil meyakinkan polisi, dia berharap bisa meyakinkan orang-orang itu untuk mencabut pengaduan mereka.

"Bu, kami sedang bicara dengan Ibu," kata salah seorang petugas polisi.

"Sebentar, Pak," kata Sita sembari tersenyum. "Halooo?" teriak Sita lagi, karena tiga orang itu jelas pura-pura tak mendengarnya. Mereka terlihat terlalu sibuk dengan pembicaraan antar mereka. Salah seorang di antara mereka dengan berlebihan menggaruk lubang telinga menggunakan kelingking.

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang