8

684 111 3
                                    


Nicholas Hartawan datang ke kantor Garin sendirian. Sesuatu yang bisa dihitung jari selama pria itu menjadi salah satu anggota dewan komisaris. Sulung keluarga Hartawan, kecerdasannya setara dengan mendiang sang ayah, dengan selera menangguk keuntungan yang lebih besar.

Beberapa orang menganggapnya serakah. Aditya dan Garin sendiri tak pernah menganggap itu adalah sesuatu yang buruk, sepanjang Nicholas tak mendorong perusahaan untuk menyeberangi kode etik, hukum, kewarasan, dan kepantasan demi keuntungan.

Garin sedang membaca preliminary report dengan Fanie sebagai subjeknya. Dia langsung menutup laptop dan menyambut kehadiran Nico.

Sulit untuk membaca wawancara dengan Fanie. Garin harus menghela napas panjang tiap kali selesai membaca satu paragraf. Dia bisa merasakan kepahitan dan kebenaran dari Fanie, yang merembes melalui kalimat-kalimat tertulis.

Apa tak ada satu pun orang di Memoria yang melihat betapa berbahayanya pendekatan ini?

Tepat kena sasaran. Seseorang memang harus mengawasi Sita, tapi tidak dari dekat, dan bukan Aditya-lah orangnya.

Namun, Aditya memutuskan demikian dalam rapat darurat pertama mereka, sebagai tugas resmi terakhirnya di Memoria.

Di masa 'damai' seperti ini, tidak ada yang berani mengingatkan Aditya. Tidak ada yang tega.

Stephanie terdidik di Memoria saat mereka memasuki status 'siaga'. Aturan hukum belum menaungi Prosedur kala itu, jadi mereka bersandar pada nilai moral dan kode etik yang lebih kaku penafsirannya daripada undang-undang.

Prinsip-prinsip yang dipegang Fanie membuatnya cocok jadi ketua umum Formatoria. Garin selalu memberi kesan bahwa dia menganggap kehadiran Formatoria menganggu, tapi Garin selalu menganggap masukan Formatoria penting untuk ditindaklanjuti dan diam-diam selalu menunggu somasi darinya.

Fanie benar, Aditya memang tak seharusnya menjadi orang yang mengawasi perkembangan Sita dari hari ke hari.

Aditya sempat berseloroh bahwa semua orang yang bekerja di masa awal terbentuknya Memoria memiliki mentalitas seperti sekelompok orang yang pernah terjebak dalam kapal yang nyaris tenggelam. Mereka menatap dunia yang baru ini dengan tatapan penyintas yang penuh kehati-hatian dan kewaspadaan, nyaris paranoid.

Kalau posisinya dibalik, Garin adalah mantan karyawan Memoria dan Fanie sebagai COO, mungkin Garin akan mengatakan hal yang sama juga.

"Aku sudah mendengarnya," kata Nicholas, sembari menjabat tangan Garin. Garin tahu dia tak perlu repot menjelaskan soal kemunculan Felisita Lutfi yang selama ini hilang bagai ditelan bumi.

Hanya sedikit orang yang tahu bahwa Aditya-lah yang mengatur Sita agar mendapat pekerjaan di luar Indonesia. Cukup jauh agar tidak ada lagi yang mengusik kehidupan gadis itu.

Nico termasuk yang tidak tahu soal keberadaan Sita. Sesuatu yang sempat membuat Nico amat marah. Garin tidak pernah memahami kemarahan Nico saat itu, tapi belakangan, Garin hanya bisa memikirkan dua hal, bahwa Nico benar-benar peduli pada Sita, atau dia menganggap keberadaan Sita penting untuk mengendalikan Aditya.

Semua orang tahu, mengendalikan Aditya berarti mengendalikan Memoria.

Garin memperhatikan pria yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya itu melepas kancing jaketnya agar bisa duduk di sofa kulit dengan lebih nyaman. Badannya tegap. Sedikit uban mulai menghiasi rambut malah menambah pesonanya.

"Felisita Lutfi, tiga tahun setelah menjalani Prosedur Penghapusan Ingatan, mendatangi lelaki yang menghapus ingatannya." Nico merentangkan tangan dengan dramatis. Tiap katanya terdengar tajam.

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang