5

1.1K 161 21
                                    

Ketika Aditya Utama mengajaknya makan siang, Sita mengira mereka akan pergi ke mal atau restoran sekitar sini seperti... entahlah, seperti orang normal pada umumnya?

Alih-alih pergi, Aditya malah mengajak Sita ke dapur rumahnya, yang lebih mirip dapur untuk pemotretan majalah daripada dapur rumah. Di sepanjang satu sisi, meja-meja baja stainless, kompor berdiri, oven, microwave, rak besi penuh stoples-stoples kaca, mengesankan dapur industrial yang dingin dan steril. Di sisi satunya, meja kayu panjang dengan tiga kursi dan satu bangku panjang, dengan taplak meja merah-putih berpola gingham. Tiga pajangan kristik tertempel di dinding atas meja makan. Pajangan pertama bergambar rumah-rumah pedesaan Eropa, yang kedua bergambar pohon bunga ceri dan jembatan melengkung di atas sungai kecil, yang ketiga bergambar mercusuar tepi pantai.

Sita otomatis berhenti berjalan saat melihat ketiga gambar itu. "Wow," komentarnya pendek. Dia tidak ingat kapan terakhir kalinya dia melihat kristik menjadi panjangan dinding. Terasa amat bertolak belakang dengan suasana keseluruhan dapur yang dingin, benda kerajinan tangan semacam ini membuat ruangan sedikit hangat dan manusiawi.

Aditya tertawa kecil, dia ikut berdiri di samping Sita, turut melihat tiga kristik berbingkai itu. "Aku sedang mengerjakan yang keempat. Kristik rumah tepi hutan," kata Aditya dengan kebanggaan yang tak terbendung. "Kapan-kapan nanti kutunjukkan."

Sita mengangkat alis. Kristik itu jadi lebih janggal lagi karena Aditya Utama sendiri yang mengerjakannya.

Tak urung, Sita meringis mendengar ucapan Aditya. 'Kapan-kapan' terdengar amat optimis saat Sita yakin dia tak akan menginjakkan kaki ke rumah ini lagi.

"Duduklah, biar kusiapkan dulu makan siang kita," kata Aditya.

Sita menurut, dia duduk menghadap meja makan.

Aditya berjalan ke seberang ruangan sembari menggulung lengan kemejanya. Sita memperhatikan punggung lelaki itu dalam diam.

"Kenapa badanmu berbau kayu putih?" tanya Sita, tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. "Kamu masuk angin sepanjang hari atau bagaimana?"

Aditya yang kini sedang menggulung lengan kemeja kanan berhenti sejenak, dan menatap Sita bingung. Aditya lalu mencubit bagian depan kemejanya, lalu membawanya ke hidung, mengendusnya. "Oh," katanya sembari tertawa kecil.

"Apanya yang 'oh'?"

"Aku baru sadar kalau tubuhku berbau kayu putih. Tidak pernah ada yang berkomentar sebelumnya," kata lelaki itu. "Mungkin karena hanya kamu yang berada cukup dekat denganku."

Setelah berkata begitu, Aditya kembali balik badan, sementara Sita duduk terbengong-bengong.

Sita cukup tua hingga menyadari bahwa Aditya Utama merupakan tipe lelaki yang tak butuh banyak usaha untuk membuat perempuan terbawa perasaan. Kadang lelaki macam ini juga tidak menyadarinya, hanya mungkin mendapat kepuasan kalau bisa membuat gadis-gadis merasa mereka istimewa, satu-satunya.

Perempuan dewasa semacam Sita bisa lebih waspada. Perempuan yang lebih muda dan sering menuliskan 'I'm not special, I'm limited editon' di bio medsos biasanya lebih rentan terkena dampaknya. Untuk mengasah 'keterampilan', lelaki macam ini biasanya berlatih dengan banyak perempuan.

Untuk mencapai keahlian tingkat tinggi seperti yang baru diperlihatkan Aditya Utama barusan, Sita tidak berani menebak jumlah perempuan yang sudah jadi teman latihannya.

Aditya Utama kembali beberapa saat kemudian, membawa sebuah nampan. Aroma gurih-manis-sedap tercium. Dengan cekatan, Aditya mengatur piring berisi sesuatu yang tampak seperti daging berbumbu dengan taburan bawang goreng, sestoples kecil emping melinjo, semangkuk kecil sambal cabai oranye, semangkuk kecil acar timun-wortel-bawang yang terlihat menyegarkan, semangkuk sup bening berisi kentang dan wortel bertabur seledri.

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang