10

969 97 11
                                    

"Sulit dibuktikan secara ilmiah? Serius, Ryan?" kata Astrid dengan bibir terkatup saat menarik sabuk pengaman dan memasang gespernya. Mobil mereka diparkir di bawah pohon kayu putih yang tinggi dan rimbun. Beberapa daun keringnya hinggap di kap mobil. Aromanya kayu putih yang segar dan dingin di hidung malah ingin membuat Astrid ingin lekas pulang, mandi air panas, dan melupakan wawancara hari ini.

"Memangnya aku harus menjawab apa?" kata Ryan hampir histeris, duduk di bangku penumpang. "Beliau bicara soal hantu dan jiwa. Aku cuma lulusan S1 Akuntansi, Astrid. Aku tidak punya cukup ilmu untuk menjawab penyataan filosofis macam itu."

Astrid menstrarter mobil sembari mengklakson lalu mengangguk ke arah rumah Arifia Lutfi, dia menjalankan mobil perlahan.

Wanita paruh baya itu masih berdiri di teras rumahnya yang luas dan asri oleh tanaman. Berpot-pot tanaman suplir, kuping gajah, dan aneka jenis aglaonema tersusun rapi. Mendengar klason Astrid, Fia mengangguk sembari melambaikan tangan.

"Apa kek gitu yang agak profesional dan menenangkan dikit."

"Hah... kata seseorang yang berkaca-kaca di hadapan subjek wawancara. Profesional dikit, kek," sindir Ryan. Pria itu mengecek arlojinya. Di tengah Kota Tasikmalaya, dan butuh setidaknya enam jam menyetir untuk sampai ke Jakarta.

"Memang kamu tidak sedih mendengar cerita Bu Fia tentang Pak Aditya dan Bu Sita?" tanya Astrid, melirik rekannya yang menyandarkan kepala di kursi. Ryan yang menyetir dari Jakarta dini hari tadi, wajar kalau sekarang dia mengantuk.

Namun, Astrid belum puas bicara. Dia masih merasa resah dengan wawancara mereka tadi.

"Ya sedih, tapi mau bagaimana lagi," elak Ryan. "Sudah jadi bubur, masa harus balik ke nasi lagi."

Astrid menghela napas. Tahu bahwa dia terlalu terbawa perasaan. "Sori," kata Astrid pelan. Suasana kota pukul empat sore terasa berbeda, membuat hatinya sedih. Semua orang bersiap pulang, semua toko bersiap tutup. Astrid lelah, tapi di atas segalanya dia berduka untuk Aditya Utama dan Felisita Lutfi.

Untuk segala andai saja yang bisa terjadi di antara mereka berdua ....

Ryan membuka mata, menatap Astrid yang kini mencengkeram kemudi hingga buku jarinya memutih. Astrid menggigit bibir sementara wajahnya memerah menahan tangis dan air mata. Menahan air mata sembari menyetir. "Biar aku saja yang bawa mobil pas di tol. Nanti kita mampir SPBU ... isi bensin sekalian gantian nyetir."

Astrid menggeleng kuat-kuat. Ketika gadis itu bicara, suaranya serak oleh kesedihan. "Tak apa-apa, Ryan. Kamu istirahat saja. Aku suka menyetir ... lebih baik daripada melamun sepanjang jalan."

Ryan menatap Astrid lekat, sementara Astrid menatap lurus ke jalanan.

"Kamu tahu kan kalau Pak Aditya akan menjalani Prosedur satu setengah bulan lagi?"

"Iya, konon sudah direncanakan sejak tahun lalu, tapi baru belakangan ini mulai dibahas terbuka." Astrid mengakui. "Beberapa hari kemarin anak-anak bagian legal kasak-kusuk melulu. Satu-dua kali aku pernah tak sengaja mendengarnya."

"Setidaknya, itu bisa jadi pelipur lara ... bahwa Pak Aditya akhirnya bisa melupakan Bu Sita."

Astrid tertawa pahit, melirik Ryan sebelum kembali melihat ke jalan raya di hadapannya. "Apa kamu mengatakan itu agar perasaan kita membaik? Hukuman kejam macam apa itu? Saling mencintai dan saling melupakan?"

"Namanya juga usaha," kata Ryan, sembari mengedik.

Astrid tak mengatakan apa-apa lagi. Wajahnya sudah tidak setegang tadi, tetapi kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Ryan merasa iba juga. Harus diakui kalau segala yang dia ketahui soal Aditya Utama dan Felisita Lutfi dalam dua minggu belakangan ini membuat jantungnya terasa diremas-remas.

"Ayolah Astrid, sudahlah ... jangan terlalu dipikirkan. Kita selesaikan saja kerjaan ini, tanpa terbawa perasaan."

"Tentu," jawab Astrid dengan bibir terkatup rapat. "Tak sabar menyelesaikan laporan ini. Menurutmu kantor akan memberi fasilitas Prosedur mini? Yang bisa membuat kita melupakan segala wawancara ini? Menggunakan pulpen bersinar atau apa gitu," kata Astrid.

Ryan tertawa. "Kita bekerja di Memoria, Astrid ... bukan di Man In Black."

-------------------------------------------------------

Halo, untuk kelanjutan cerita ini bisa langsung dibaca di Karyakarsa ya, https://karyakarsa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo, untuk kelanjutan cerita ini bisa langsung dibaca di Karyakarsa ya, https://karyakarsa.com/sundayshoes

Kalau kamu pernah baca di platform sebelumnya, ini masih sama aja kok, belum ada tambahan ekstra.

Per 3 bab harganya 8.000
Ada juga pilihan paket untuk membeli semua bab Yang Menjadikannya Abu seharga 50.000

Demikianlah infonya. Terima kasih 💕

Salam,
Tia W

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang