Postscript

903 60 26
                                    


(original postscript from the first platform, many things no longer relevant but guess who's too lazy to change it? yeah, me... xD)


Saat YMA diiikutsertakan dalam lomba, jumlah kata dalam naskah sekitar 20 ribu kata. Setelah diminta diedit, saya mengembangkannya jadi sekitar 40 ribu kata. Editan kedua, bengkak jadi 60 ribu kata.

Hari ini (setelah sekian lama), saat dikirimkan ke editor nanti, jumlahnya mungkin 45 ribu kata.

Adegan yang membuat saya terpanggil untuk menulis YMA adalah seorang perempuan yang tertidur di mobil, dibangunkan orang-orang dan dibawa masuk sebuah rumah...

Semua worldbuilding, plotting, puluhan gelas kopi dan teh, malam-malam panjang penuh usaha menulis yang terjadi setelahnya... disulut oleh satu adegan itu.

Bab 1 YMA pertama kali ditulis tahun 2018. Tahun 2020, saat melihat e-flyer di Twitter Storial soal kompetisi novela Pulang, saya kembali mencoba menulis ulang YMA untuk diikutkan lomba.

Pulang, akan selalu jadi kata yang memayungi Yang Menjadikannya Abu.


***


Dua novel saya sebelumnya adalah novel romance, secara alamiah, saat menulis YMA, saya menganggap saya sedang menulis novel romance juga.

Little did I know...

Setelah novela selesai, proses selanjutnya adalah mengembangkannya jadi novel. Dalam proses ini, saya sudah punya plot yang akan dijalani para karakter.

Saat novel ini saya kirimkan dan kembali, beberapa catatan dari editor saya membuat saya berkali-kali membaca cerita ini. Salah satu catatannya, selain beberapa hal teknis, adalah bagaimana beberapa tokoh berbuat di luar karakter.

Masukan tersebut membuat saya menyadari bahwa saya memang terlalu mengikuti plot dan cerita eksternal, sehingga kurang memahami cerita internal mereka.

Akhirnya saya mencoba membiarkan para karakter bertindak sesuai karakter mereka.

Proses mengedit yang terakhir ini membawa saya ke tempat yang tidak saya duga.

Setiap hari, saat mengedit naskah ini, saya dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa ternyata saya ga jago-jago amat nulis... Keterbatasan kemampuan saya ini membuat saya jadi harus berusaha lebih keras untuk menuliskan cerita tentang Aditya Utama dan Felisita Lutfi.

Seperti pisau mentega yang digunakan untuk menyembelih sapi. saya berusaha sekuat tenaga menuliskan cerita mereka.

Di tangan penulis yang lebih matang dan dewasa, cerita ini mungkin akan bisa digali lebih dalam dan diiris dengan lebih halus (jangan lupa juga dikucur air jeruk nipis biar nggak bau darah).

Tapi betapa pun alotnya, kini, setelah tirai panggung sudah ditutup dan lampu dimatikan, saya bisa bilang, setidaknya saya belajar banyak dari Yang menjadikannya Abu.

Tentang ingatan, usaha dan nasib, kebaikan hati, perasaan yang lembut, janji yang ditepati dan mimpi-mimpi.

Setelah ini, perbaikan pasti ada tapi setidaknya saya bisa lega... Versi terakhir ini adalah versi yang paling dekat dengan bayangan saya. Meski tidak bisa menyenangkan semua orang, tapi setidaknya ini yang paling dekat dengan kelegaan hati saya.

Rasa terima kasih saya tak terhingga pada Kak Jia Effendie dan Storial, yang memberi saya kesempatan, kesabaran, bantuan dan waktu untuk sampai di titik ini.

Menulis novel untuk diterbitkan selalu memiliki keseimbangan samar antara kepuasan idealis dan kecepatan terbitnya karya, yang--saya bisa bilang katakan dengan yakin--keduanya bisa didapatkan dari Storial.... :)


***


Menuilis cerita tentang dua orang, yang satu ingat yang satu lupa, bukanlah hal yang mudah.

Orang yang ingat akan merasakan penderitaan tak tertanggungkan karena harus menanggung beban ingatan dua orang.

Lebih menderita lagi karena si Lupa, terdampar di depan pintu rumahnya.

Seperti melihat souvenir nikahan tapi yang ngasih udah cerai. Kangen sekolah tapi sudah lulus jadi yang tertinggal hanya kelas-kelas kosong...

Seperti punya inside joke tapi teman yang memahami udah nggak ada lagi.

Menuliskan cerita tentang Sita seringan menikmati embusan angin musim panas. Menuliskan cerita tentang Aditya, yang ada di kepala cuma sakit sakit sakit sepi sepi sepi rindu rindu rindu.

Sepanjang pengalaman, baru kali ini saya nulis tokoh dan berpikir, "Gila nih orang sengsara banget hidupnya, to give this man death probably an act of mercy..."


***


Yang Menjadikannya Abu mungkin bukan kisah romantis, tapi tetap cerita cinta.

That's why Aditya Utama, despite all the pain, clung so tightly to life and to his dearly beloved.

After all is said and done, the greatest kind of love story is the one that always seeks survival before death.

Merangkak keluar dari runtuhan gempa bumi meski sekujur tubuh memar dan patah tulang...

Berpegangan pada kayu pecahan kapal dan terombang-ambing di laut terbuka berhari-hari...

Menjalani kemoterapi yg menyakitkan...

Semua demi cinta.

Semua demi pulang....




Tia Widiana,

Januari 2021

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang