12

570 89 7
                                    


Aditya melepas kancing lengan kemejanya di hadapan cermin.

Kulitnya biasanya pucat terlihat agak kemerahan. Dua minggu terakhir ini, hampir setiap hari dia keluar rumah untuk menemui Sita. Kehidupan teratur dan menyendiri mirip pertapa yang selama ini dijalani Aditya berubah.

Atas permintaan pengawalnya, pertemuan harian Sita dan Aditya lebih sering berlangsung di luar ruangan. Lebih mudah diawasi, tanpa banyak koordinasi. Kadang mereka bertemu jam sarapan atau jam makan siang, kadang di taman atau di bangku trotoar. Hidup Aditya berpusat pada satu jam pertemuannya dengan perempuan itu.

Pada senyumnya, suara tawanya, rambutnya yang berantakan tiap tertiup angin...

Sita, Sita, Sita ....

Aditya menyukai nama itu bergulir di lidahnya. Aditya menyukai saat dia memanggil nama itu, seorang gadis akan menoleh ke arahnya.

Biasanya Aditya tak berani menyebutkan nama Sita keras-keras. Dia sudah melatih diri sejak menikahi Cessa, dan makin terlatih setelah Sita pergi dari hidupnya. Aditya mendorong nama itu dalam-dalam ke bagian belakang ingatannya.

Biasanya nama Sita disebutnya saat ia terbangun dari mimpi buruk. Mimpinya hampir selalu sama; dia berada di gedung yang kosong dan gelap dan kehilangan Sita. Aditya mencari gadis itu ke mana-mana. Panik, takut, dan rindu.

Biasanya Aditya akan terbangun di kamarnya yang gelap, terengah penuh ketakutan dan membisikkan nama, "Sita..." perlahan.

Bagaimana rasanya memiliki segalanya, tetapi tak memiliki apa-apa?

Sita sudah tak ada lagi dalam hidupnya, Aditya bisa menerima itu.

Sita sudah memilih untuk melupakannya, Aditya bisa menerima itu.

Sampai akhirnya dua minggu yang lalu Sita datang lagi ke hidupnya, datang lagi ke rumahnya.

Aditya mengganti kemejanya dengan kaus dan celana training, dan saat memasuki kamar, dia mendengar ponselnya berbunyi.

"Halo," sapa Aditya pelan, sembari duduk di tepi ranjang. Kamar yang luas itu hanya diterangi cahaya kuning temaram dari lampu tidur di nakas. Ranjangnya lebar, empuk dan sepi. Ranjang bujangan, Francessa dulu sering berkata.

Francessa tak pernah tinggal di rumah ini. Selama pernikahan singkat mereka, Francessa dan Aditya tinggal di apartemen mewah milik Francessa atau rumah di daerah Kebayoran Baru milik Aditya, tapi tak pernah di sini.

"Apa kabarmu hari ini?" tanya Garin, yang selalu mengecek keadaan Aditya seminggu dua kali, sesibuk apa pun, meski teleponnya selalu kurang dari satu menit.

"Baik," kata Aditya.

"Preliminary report sudah selesai dibuat. Akan aku kirimkan lewat email, dokumennya akan dikirim minggu depan."

"Ada yang terlihat tidak normal?" tanya Aditya. Dia takut mendengar jawabannya, sekaligus penuh harap.

Garin tak langsung menjawab. Setelah keheningan beberapa saat, Garin berkata. "Tidak ada yang aneh. Kurasa entah bagaimana semua ini cuma... kebetulan."

Aditya merasakan ketegangan di lehernya, tanpa sadar memijat diri sendiri. Dia tidak suka kebetulan. Dia lebih suka ada kesalahan untuk bisa diperbaiki. Sepanjang karier Aditya, hanya dua insiden yang membuatnya tak tenang sampai sekarang.

Yang pertama insiden Kevin Antonio, dan sekarang insiden Felisita Lutfi.

Dia punya beberapa hipotesis soal Kevin Antonio, tapi menyimpulkan yang terjadi pada Sita lebih sulit karena kedekatan mereka sebelum Prosedur.

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang