14

582 85 15
                                    


Aditya terbangun dengan kepala berputar, tenggorokan sakit, dada sesak, dan mulut masam. Dia berjalan gontai menuju kamar mandi dan sedikit memuntahkan cairan kuning yang terasa pahit. Sesak di dadanya mereda meski tak banyak.

Setelah minum obat yang ada di balik kaca wastafel, dia berkumur dan menyikat gigi, demi menghilangkan rasa yang mengganggu dalam mulut.

Aditya sedang mengeringkan tangannya dengan handuk saat dia mendengar pintu diketuk.

"Ya?" tanya Aditya, sembari terbatuk kecil.

Salah seorang ART-nya berdiri di depan pintu, wajahnya ragu. "Pak, ada yang mau bertemu dengan Bapak. Tapi Sabtu pagi begini, Pak Aditya perlu istirahat—"

Aditya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Kami sudah ada janji sarapan pagi. Sebentar lagi saya turun."

Setelah berkata begitu. Aditya menutup pintu dan berganti baju.

Sejenak, dia lupa janji yang dia ucapkan pada dirinya sendiri tadi malam, untuk melupakan Sita dan menjauhi gadis itu.

***

Sita masih membawa wadah bekal stainless di tangannya sembari menatap foto-foto di Dinding Kenangan. Dia berjalan selangkah demi selangkah, membaca satu per satu nama-nama dan kata-kata yang tertulis di sana.

"Aku kira kamu menungguku di dapur."

Sita membalikkan badan. Aditya sedang berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat agak pucat, meski bibirnya tersenyum.

"Kamu sakit?" tanya Sita sembari menautkan alis.

Aditya menggeleng pelan, lalu selangkah demi selangkah mendekati Sita dan berdiri di samping gadis itu. "Aku sudah lama tidak ke sini," kata Aditya, menatap hamparan foto di hadapannya.

Sita menatap wajah Aditya. Dari samping, dia bisa melihat sinar mata pria itu melembut. Ekspresinya sama seperti Astrid tempo hari.

Mungkin dalam hati, Aditya membayangkan hari ketika foto dia terpajang di dinding ini.

Tanpa sadar, Sita melihat ke arah foto paling kiri bawah. Tanpa nama, hanya masa kerja dan sebaris tulisan.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Kalau foto Nomor Satu tak dipajang karena dia satu-satunya pegawai Memoria yang menjalani Prosedur, maka apakah Aditya juga akan bernasib sama?

Sita tak sampai hati bertanya.

"Sedang berpikir akan menulis apa untuk ditaruh di sini?" tanya Sita, suaranya riang, berusaha mengimbangi kesenduan di wajah Aditya.

Pria itu menoleh ke arah Sita. "Aku tidak akan menaruh apa-apa di sini," katanya sembari menyeringai. Aditya melirik ke arah wadah stainless di tangan Sita. "Pesananku?" tanyanya.

Sita mengangguk, dia mengangkatnya sedikit. "Bubur ayam, tanpa ayam, kedelai, seledri, kerupuk dan pendampingnya. Hanya bubur, sedikit merica dan kecap asin. Kamu harus lihat muka abang buburnya... kalau tiap hari ada sepuluh orang yang beli bubur macam begini, dua tahun lagi udah naik haji kali dia."

Tadi malam Aditya meminta kesediaan Sita sarapan bersama di rumahnya, sekaligus meminta tolong dibelikan bubur. Sita tidak bisa membayangkan rasa bubur pesanan Aditya, terdengar tawar dan membosankan. Namun, kalau itu yang dia inginkan, maka itu yang dia dapatkan.

Aditya terkekeh. "Perutku sedang tidak enak, aku hanya ingin makanan tawar," komentarnya, sembari mengambil wadah stainless dari tangan Sita. Aditya berjalan keluar ruangan. Sita mengikuti di sampingnya.

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang