7

797 131 16
                                    



Sita, Aditya, dan Hani duduk di bangku belakang mobil, sementara di bangku pengemudi dan bangku penumpang depan diisi dua orang berwajah serius dan bersetelan hitam, memperkenalkan diri sebagai Fadhil dan Sapta, pengawal dan sopir Aditya.

Sita duduk di tengah, sementara Aditya dan Hani duduk di samping kanan dan kirinya. Dengan rendah hati, Aditya minta Sita memperkenalkannya pada Hani, dan Sita menurut.

"Aditya, ini Hani, temanku," kata Sita. "Hani, ini Aditya, temanku ..."

Sita merasa konyol karena mengaku-ngaku sebagai teman Aditya tapi memangnya dia harus bilang apa?

Hani, ini Aditya, yang kemarin rumah dan privasinya kulanggar....

Mobil yang mereka tumpangi melewati rombongan pendemo Formatoria, dan Sita merasa canggung. Suara yel-yel mereka tidak terdengar, tapi tulisan di spanduk Formatoria bisa terbaca dengan jelas karena jalanan yang ramai dan mereka harus berjalan perlahan.

"Jangan dimasukkan hati, Pak," kata Hani tiba-tiba, suaranya terdengar penuh tekad.

Sita dan Aditya menoleh bersamaan ke arah Hani. Sita melongo melihat reaksi Hani sementara Aditya hanya tersenyum.

"Tidak pernah," kata Aditya pelan.

Sapta, sopir Aditya, memarkirkan Camry mereka di ruko kosong samping gedung kantor—parkiran kantor lumayan penuh dengan kendaraan klien dan pegawai. Hani pamit masuk, berniat makan di dalam kantor. Setelah Hani tidak ada, Aditya menatap Sita dengan penuh harap.

Sita masih ingat kemarin dia diterima di rumah Aditya dengan amat baik, makan di rumah lelaki itu. Dia tak mungkin meninggalkankan Aditya begitu saja. Sita lalu berinisiatif mengajak Aditya pergi ke taman kota sekitar situ, sekitar lima menit berjalan kaki. Ada setidaknya delapan pasang meja dan bangku beton, masih ada tiga yang kosong. Aditya dan Sita duduk di salah satunya.

Tentu saja karena pertemuanmu dengan Dr. Aditya Utama!

Ucapan Hani terngiang di benaknya dan Sita merasa hatinya kecut. Setengah melamun, dia meletakkan tas kain berisi nasi kuningnya di meja beton sementara dia duduk.

"Sita?"

"Ya?" tanya Sita, mengangkat wajah. Aditya Utama tersenyum lebar dan Sita kembali menunduk, senyum lelaki itu sungguh membuatnya kikuk.

Sita berlama-lama menatap bilah meja beton yang ternoda oleh semacan getah pohon lengket kecokelatan.

"Sita?" panggil Aditya lagi.

Saat Sita mengangkat wajah, dia menyadari kalau Aditya Utama sedang menunggu tanggapan Sita akan perkataan yang tidak Sita dengar.

"Sori, tadi kamu bilang apa?" tanya Sita sembari tertawa canggung.

"Kamu berbau minyak kayu putih," ulang Aditya sembari terkekeh.

Sinar matahari tersaring dedaunan pohon perindang taman, sehingga membentuk pola yang meneduhkan saat menimpa wajah Aditya. Sorot mata lelaki itu lembut. Wajahnya tidak bisa dibilang luar biasa tampan, tapi cukup untuk membuat Sita tak berkedip memandangnya.

Kalau kemarin terasa seperti mimpi—rumah besar, pohon eksotik, dinding penuh wajah dari masa lalu—maka kehadiran Aditya di hadapan Sita hari ini terasa seperti mimpi yang jadi kenyataan.

Pria itu menggunakan sweter kashmir warna gelap, terasa ganjil dipakai di Jakarta tengah hari, tapi tak sedikit pun titik keringat muncul di wajahnya.

"Aku sedang bereksperimen," kata Sita, akhirnya mengumpulkan cukup niat untuk menghentikan kontak mata dengan Aditya Utama. Aturan normal mungkin tidak berlaku bagi orang seperti Aditya, tapi masih berlaku bagi Sita. Jam makan siangnya akan berakhir dalam empat puluh menit dan sebaiknya Sita mulai makan sekarang. "Kemarin malam, aku baru saja mengalami tidur paling nyenyak selama berbulan-bulan. Aku punya teori tidur nyenyakku terjadi karena seharian kemarin, di rumahmu, aku terpapar aroma kayu putih nyaris sepanjang hari."

Yang Menjadikannya AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang