Chapter 2

5.9K 349 2
                                    

***

Saat dalam perjalan ke Hotel, Trisha tetap bungkam. Ia menahan keluhannya. Ia berpikir akan lebih etis kalau ia meledak saat di kamar Hotel dibandingkan di dalam mobil, yang konteksnya masih ada kehadiran Pak supir taxi dan kru Pramugari lainnya. Sedangkan Elina? Ya, ia asyik bercanda dengan teman-teman lainnya. Ia pun sadar kalau Trisha dari tadi terdiam.

"Eh, Sha! Lu kenapa diem aja dari tadi, sih!? Sini, dong! Ikut ngerumpi!". Elina menepuk-nepuk bantal kursi mobil berharap Trisha mau ikut bergabung.

"Iya, Sha. Sini dong ngobrol bareng kita! Jangan mojok di situ mulu, nanti lama-lama malah ada yang masuk. Nah, kan nggak lucu!". Balas teman Pramugari yang lain.

Trisha hanya membalas dengan mendecak kesal. Ia malas untuk membuka mulutnya untuk saat ini. Ia  masih amat kesal dengan kejadian tadi di Bandara.

Trisha tidak suka orang asing, apalagi yang sok kenal sok dekat padanya. Walaupun Trisha memiliki wajah cantik jelita dan manis tetapi semua itu berbanding terbalik dengan kepribadiannya. Ia acuh tak acuh, keras kepala, berpendirian kuat, tidak suka diatur dan bertemperamen tinggi.

Karena hanya dibalas dengan decakan, temannya pun membiarkan Trisha untuk menyendiri. Lebih baik begitu, dari pada ia akan mengamuk di dalam mobil nantinya.

Sesampainya di Hotel, mereka pun dibagikan ruangan yang masing-masing memiliki tempat tidur ukuran king size. Shower yang di lengkapi dengan bathtub dan juga toilet yang otomatis terbuka. Dan ya, Trisha ditempatkan sama-sama dengan sahabatnya Elina. Dan di sana pula ia mulai meledak.

"Apa-apaan sih lu, tadi di Bandara!?". Protes Trisha yang mulai naik pitam.

"Apanya yang bagaimana, sih!? Kenapa lu marah-marah, dah?! Baru aja nyampe! Belum juga gue nyentuh  kasur, lu udah meledak!". Elina baru saja mau menyandarkan tubuhnya di kasur namun diurungkannya.

"Jelaslah! Gue marah! Lu kenapa berani-beraninya ngasih tuh orang alamat Hotel kita!? Lu tahu sendiri kan gue itu T-I-D-A-K S-U-K-A orang asing!". Trisha memberikan setiap penekanan di setiap intonasinya. Dengan jarinya, ia memprotes sahabatnya itu yang seharusnya sudah tahu dari dulu bahwa Trisha paling anti sama orang asing.

"Ya...maaf, Sha. Kan, gue kelepasan tadi. Gue kasihan sama tuh orang, seperti apa ya? Dia kelihatan ingin banget kenalan sama lu. Agak nggak enakan kalau ditolak di depan teman-teman kita".

Elina sudah memaklumi Trisha yang pada dasarnya bersumbu pendek itu.

"Ugh! Mana penampilannya nggak jelas juga! Lain kali, jangan gitu dong! Gue kagak peduli tuh orang sedih! Atau kecewa! Atau marah! Atau merasa malu! Mana gue harus ketemu dia besok! Memangnya lu pikir gue mau, apa!?".

"Sha, gue kan udah minta maaf. Kalo lu nggak mau, begini aja. Besok gue yang nemuin dia, terus gue bilang kalo lu itu tidak mau untuk diajak kenalan. Bagaimana?".

"Memang! Dan seharusnya! Dan sepatutnya seperti itu!". Trisha menunjuk ke arah Elina dengan horror.

"Yaelah, Sha! Cantik-cantik kok galak amat sih! Setelah kejadian sama si doi. Lu kok, malah tambah horror dari mbak kunti!".

Elina akhirnya menyandarkan tubuhnya di atas kasur. Belum juga bersandar sepenuhnya, sebuah pukulan berhasil mengenai kepalanya.

"Aduh! Sha! Lu kok jitakin kepala gue sih!? Nanti kalau gue lupa ingatan emangnya lu mau tanggung jawab operasi dengkul gue hah?!". Elina mengelus dengkulnya yang tentunya bukan area itu yang terasa sakit.

"Tenang. Sebentar gue bawa lu ke rumah sakit, tapi rumah sakit jiwa! Biar lu tenang di sana sampai lu tua terus lu keluar deh. Eh pas keluar lu tiba-tiba jatuh terus mati! Tamat".

"Eh anjir! Lu kok jahat banget, sih!? Belum juga gue nemu pujaan hati gue, gue udah mati duluan!".

Dengan ketus Elina menyembah-nyembah ke atas berharap situasi seperti itu tak akan pernah terjadi.

Trisha hanya memutar bola matanya saat melihat kelakuan sahabatnya itu. Setelah berargumen, seperti biasa mereka baikan kembali. Mereka lalu makan siang dan beristirahat. Begitupun pada saat malam hari.

Esok pun menyambut mereka. Di pagi buta, Trisha sudah bangun duluan dengan mata yang masih setengah sayup. Ia mengerjap-ngerjap matanya beberapa kali. Dan tiba-tiba suatu ingatan kembali mengingatkannya pada masa itu. 

Persetan!

Umpatnya dalam hati.

***

DINGIN MENYUMSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang