Chapter 63

2.6K 203 22
                                    

***

"Kenapa lu operasi?". Tanya Trisha dengan nada kecewa.

Si Sinting hanya tersenyum sembari memainkan jemarinya di atas cangkir teh hangat.

Trisha diam menatap lekat sosok yang dulu ia benci itu. Kini tubuh si Sinting terlihat bidang. Bulu mata dan alis matanya bahkan lebih lebat dibandingkan sebelumnya. Trisha pikir karena suntik hormon, si Sinting berubah drastis.

Trisha sabar menunggu jawaban dari si Sinting.

"...Aku punya gender dysphoria".

Si Sinting berhenti memainkan jemarinya. Di tatapnya wajah cantik jelita itu.

"Apa...Itu?". Tanya Trisha bingung.

"Gangguan identitas seksual. Aku punya tingkat ketidakpuasan tinggi dengan jenis kelaminku. Sungguh berbanding terbalik dengan dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang lebih berorientasi pada preferensi seksual individu, dan bukannya ketidakpuasan dengan jenis kelamin dan gender yang dimiliki sejak lahir".

"Jadi...Lu punya penyakit mental?". Tanya Trisha hati-hati.


"Aku konsultasi dengan Dokter. Dokter bilang, kalo gangguan identitas seksual secara resmi diklasifikasikan sebagai gangguan medis pada manual ICD-10 dan DSM-5. Menurut manual tersebut, kondisi itu disebabkan oleh kombinasi faktor perilaku, psikologis, dan biologis. Walau tercantum dalam manual DSM-5, Dokter tekankan kalo gangguan identitas seksual bukanlah penyakit mental".

"Kalo gitu, apa dong?". Tanya Trisha semakin bingung.

"Hm, bisa dibilang kondisi ini dimulai saat perkembangan janin di rahim Ibu. Ketidakseimbangan hormon juga dapat memengaruhi tubuh, termasuk otak, alat kelamin, dan organ reproduksi".

Trisha pusing dengan penjelasan dari si Sinting. Jadi, itu kah alasan ia memutuskan untuk operasi? Konyol!

"Hah! Kenapa lu gak terapi aja? Konsultasi? Pasti bisa disembuhkan! Semua bisa, kalo ada kemauan!". Balas Trisha dengan yakin.

"Bisa! Tentunya Dokter melakukan  pengobatan untuk kondisi seperti aku ini. Tapi tidak bertujuan agar aku bisa menerima jenis kelamin milik ku. Melainkan untuk mengurangi atau menghilangkan penderitaan yang aku rasakan atas perbedaan antara gender yang aku mau dan jenis kelamin yang aku punya. Pilihan pengobatan yang dokter kasih, ya seperti sesi psikoterapi, terapi hormon, terapi untuk manifestasi fisik dari jenis kelamin jadi, aku bisa melalui transisi ke identitas gender yang aku mau dan yang terakhir ganti kelamin.". Jawab si Sinting panjang lebar.

Trisha memijit pelipisnya. Ia masih tak mengerti dengan gangguan identitas seksual yang dijelaskan dari si Sinting. Semuanya terasa asing. Terasa membingungkan dan konyol.

"Hah...Jadi, gak bisa disembuhkan?".

"Bisa! Dengan cara tadi".

"Gak ada cara lain?". Tanya Trisha putus asa.

"Ada".

Mata Trisha berbinar-binar.

Si Sinting tiba-tiba memalingkan pandangannya ke arah jendela. Sorot matanya menjadi suram.

"Bunuh diri".

Trisha membelalak. Bukankah itu lebih konyol lagi!?

"Hah!? Lu beg--".

Si Sinting menatap kembali sang Pujaan Hati.

"Kak Trisha, aku sudah empat kali melakukan percobaan bunuh diri. Hanya karena aku memaksakan diri untuk berpikir dan menjadi perempuan. Aku jijik dengan tubuhku sendiri--".

Si Sinting diam sejenak, lalu melanjutkan lagi penjelasannya.

"Sejak kecil aku berpikir kalo aku adalah laki-laki. Seharusnya menjadi kepala keluarga, seharusnya melindungi perempuan, seharusnya menyenangkan istri dan anakku nanti, seharusnya diberi pujian bahwa aku ini ganteng! Bukan cantik! Cantik bukan untukku! aku laki-laki! Cantik untuk ku adalah sebuah hinaan! Lebih baik aku dipanggil jelek! Aku benci punya payudara! Aku benci punya vagina! Aku benci kalo aku bisa melahirkan! Aku benci kalo aku faktanya adalah perempuan!"

"Hey, itu dosa! Itu dosa! Lu punya Tuhan, gak!? Harusny--"

"AKU BENCI PUNYA TUBUH INI! TAPI TIDAK ADA SATU PUN YANG MENCOBA MENGERTI PENDERITAAN KU, TERMASUK KAMU! SEMUANYA HANYA INGIN MENGHAKIMI KU HABIS-HABISAN TAPI TIDAK ADA YANG INGIN MEMAHAMI KU SEDIKIT SAJA! KAMU TIDAK TAHU RASANYA BENCI DAN JIJIK PADA DIRIMU SENDIRI SAMPAI TITIK DIMANA KAMU INGIN MATI SAJA!".

Si Sinting memukul meja dengan amat keras. Suara bariton si Sinting lantang namun bergetar. Sakit hati dan keluh kesahnya ia lampiaskan saat itu juga. Matanya memerah, napasnya tak beraturan. Sejak tadi ia mencoba untuk menahan emosinya namun tak bisa. Ia benar-benar terpukul.

Si Sinting melihat sekelilingnya, para tamu cafe memandangnya dengan heran. Bahkan pelayan langsung datang menghampirinya.

"Sir, I'm so sorry. But you have to leave now".

"Yeah...I know. I'm so sorry for my behavior".

Si Sinting beranjak dari kursinya lalu menunduk pada pelayan dan pengunjung cafe. Ditatapnya sekilas sang Pujaan Hati.

Trisha mencoba untuk beranjak dari kursinya juga.

"Wai--". Seru Trisha.

"I'm sorry".

Si Sinting tersenyum getir lalu pergi meninggalkan Trisha dari cafe tersebut.

***

DINGIN MENYUMSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang