Chapter 17

2.7K 235 4
                                    

***

Bagong Lapuk

Nih gue udah nyampe di cafe. Di mana lu? (18:57).

.(19:00) Di Lt. 2, naik aja ke atas

Ok (19:01).

Elina pelanga-pelongo mencari seonggok daging. Eh, maksudnya  sahabatnya yang super duper cantik itu di lantai dua. Seperti yang dimaksudkan oleh Trisha.

Ia menyipitkan matanya yang tidak rabun itu lalu ditemukanlah seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya. Elina tersenyum lalu ia pergi ke arah lambaian tangan itu.

Dipeluk erat sahabat karibnya yang telah menemaninya sejak bangku SMP. Susah senang mereka lalui bersama, menempel erat bagaikan anak kembar siam. Kedua sahabat itu pun akhirnya menyudahi pelukan mereka lalu duduk di tempat masing-masing. Saling pandang, lalu menghela nafas panjang. Tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

Elina sangat sedih, sahabat karibnya keluar dari pekerjaannya karena dipecat. Kalau Trisha belum dipecat mungkin saat ini ia berada dalam kabin pesawat.

Jam kerja mereka berbeda, tidak begitu sering mereka mendapatkan shift yang sama pula. Ya, itu adalah kerja bersama Trisha untuk yang terakhir kalinya. Sungguh disayangkan, padahal Elina ingin bersama dalam satu maskapai untuk penerbangan selanjutnya. Bila ia mendapatkan shift yang sama bersama Trisha. Mereka bisa saja bersenang-senang dalam Hotel, Bar ataupun tempat hiburan lainnya.

Trisha sendiri sudah menjadi Pramugari yang digandrungi banyak perusahaan, sampai ia pernah masuk dan bekerja sebagai kru Pramugari di luar negeri selama tiga tahun.

Elina juga pernah menjadi kru Pramugari di luar negeri tapi ia hanya dikontrak selama 6 bulan lalu balik lagi ke Indonesia. Jangan salah sangka, ia hanya mendapatkan kontrak pendek dikarenakan saat itu neneknya sedang sakit keras. Jadi, ia memutuskan untuk pulang dengan segera sebelum masa kontraknya usai. Elina ini sangat menyayangi kakek dan neneknya. Wajar saja ia kalang kabut mendengar berita tersebut dari orang tuanya.

"Sha...Gue denger lu dipecat. Kok bisa sih, Sha!? Kalo lu gak ada, gue gimana dong? Masa, gue harus sendirian gitu atau sama kru lain yang gak srek gitu, Sha". Rengek Elina dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Trisha berpaling. Ia hanya diam saja sambil memejamkan matanya.

"Sha? Kenapa bisa dipecat, sih?! Perasaan lu fine-fine aja deh. Nggak buat onar juga di perusahaan. Elu juga yang paling rajin. Kelewat batas malah, kayak babu!". Ejek Elina karena sedari tadi Trisha hanya mendiamkannya.

Sebuah getokan sendok terdengar di kepala pemilik mata kecokelatan itu.

"Duh! Sha!? Lu kasar amat sih! Cantik-cantik kok kayak gorila!".

Getokan kedua di lampiaskan lagi di kepala Elina.

"Ampun, emak! Iya! Iya! Maafkan anak emak yang durhaka ini". Mohon Elina sambil menundukkan kepalanya di atas meja.

"Mamam tuh, sendok! Entar, kalo lu  lu banyak bacot lagi. Gue tusuk nih, sendok dalam ubun-ubun lu!". Canda Trisha yang tak terdengar seperti sebuah candaan.

"Hiiiiii, Sha!! Psycho banget sih, lu! Pantas aja lu jadi bujang lapuk!". Tawa Elina dengan nyaring.

Trisha hanya bisa mendecak kesal kepada sahabatnya yang satu ini. Sepertinya otaknya sengklek saat pembuatan di pabrik.

"Ck! Gue dipecat karena Pak Burhan dapat ancaman!". Gerutu Trisha.

"Hah!? Siapa yang ancam Pak Burhan, Sha?! Gue kagak terima kalo hanya ancaman aja, terus lu di pecat!". Sengit Elina bersemangat.

"Tuh berengsek mengancam dengan memberikan bukti video sama foto saat kejadian di Hotel waktu itu. Si Sinting yang gue hajar hidungnya. Terus gue naik pitam, jadi gue kira si Sinting yang ngancam!! Jadi, gue laporin tuh ke Papa".

Elina mendelikkan matanya. Semangatnya yang tadi berkobar tiba-tiba padam.

"Te-Terus...dia nya bagaimana? Lu kagak bunuh kan?!". Elina panik.

Elina tahu betul sahabatnya ini. Walaupun wajahnya bak malaikat tapi kelakuannya bak iblis. Hanya berbanding sebelas dua belas dengan makhluk buruk rupa itu.

Pernah Elina memergoki Trisha yang mematahkan jari kelingking, manis dan jari tengah teman kelas mereka setelah sekolah usai. Elina mendengar dengan jelas jeritan memilukan dari bocah lelaki yang memohon ampun itu. Namun, Trisha tak memiliki empati sama sekali untuk berhenti dari kegiatannya.

Kalau diingat-ingat kembali, Elina selalu bergidik ngeri. Bulu romanya selalu berdiri apabila memori itu ia terus mainkan.

"Belum siuman...si Sinting rawat inap di kediaman rumah gue". Jawab Trisha pelan.

"Sha...Lu kok tega, sih?! Lu apain dia sampai gitu?!". Tanya Elina yang makin panik.

"Gue tusuk...Se-Sepuluh kali". Jawab Trisha gelagapan.

Elina menepuk jidatnya tak percaya.

"Sha! Lain kali kalo lu mau bunuh anak orang tuh lihat-lihat! Kan, jadinya tambah dosa kalo kayak gini! Lu kan pintar! Kok jadi idiot gini sih!?". Pekik Elina.

"Maaf". Jawab Trisha singkat.

"Lah!? Jangan minta maaf sama gue dong! Minta maaf tuh sama dia! Pantes aja gue ngirim pesan nggak dibalas-balas!". Dengus Elina kesal.

"Hah? Lu texting si Sinting? Lu dapat nomornya dari mana?". Tanya Trisha heran.

"Ih! dia tuh ada nama tau! ... Tuh namanya! Gue minta lah pas di rumah sakit waktu itu".

Trisha hanya membulatkan mulutnya.

"Terus, siapa pelakunya?". Tanya Elina penasaran.

Air muka Trisha berubah menjadi datar. Dengan intonasi yang dingin. Ia menyebutkan nama bajingan itu.

"Adam".

***

DINGIN MENYUMSUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang