Part 1

1.1K 122 1
                                    

Happy reading
✳️✳️✳️


Sepasang netra berwarna cokelat kehitaman memandang kagum sosok tinggi yang berjalan tegap melewati tempat duduknya. Walau mengetahui pasti senyuman tipis yang diterimanya merupakan sikap profesional dari laki-laki tersebut, tapi tetap saja berhasil menciptakan rona kemerahan pada kedua pipinya. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Sandara Pramesthi Baskara saat diberi senyuman tipis nan memabukkan oleh laki-laki yang sangat dielu-elukan seantero tempatnya menuntut ilmu. Apalagi dari kabar yang didengarnya, laki-laki tersebut sangat banyak mempunyai penggemar rahasia. Salah satunya adalah dirinya sendiri.

Mata Sandara langsung mengerjap. Bahkan, ia memekik nyaring karena saking terkejutnya saat tiba-tiba saja pipinya tersengat benda dingin. Ia spontan menutup mulutnya saat menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Sambil menyengir kaku ia mengangguk canggung sebagai tanda permintaan maafnya karena telah membuat kegaduhan. Ia langsung menatap tajam sosok yang telah membuatnya kehilangan muka di tempat umum. Kekesalan Sandara semakin membumbung saat sosok yang membuyarkan kekagumannya hanya menanggapinya dengan cengiran. Bahkan tanpa memperlihatkan rasa bersalahnya sedikit pun, sosok tersebut langsung duduk di hadapannya.

"Jangan sampai bola matamu keluar karena menatapku terlalu tajam, San," tegur Barry, sosok yang tadi berhasil membuat Sandara menjadi pusat perhatian. Ia meminta persetujuan kepada Ranty Febriana, perempuan yang duduk di samping Sandara dan sedari tadi sibuk menyantap makanannya.

"Puas kamu membuatku malu, hah?!" hardik Sandara kesal.

Barry terkekeh menanggapi hardikan Sandara, sedangkan Ranty hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan kesibukannya makan.

"Saat ada Pak Levin lagi. Hancur sudah reputasiku di mata beliau," Sandara kembali melanjutkan ucapannya dengan nada kesal, tapi penuh dengan kepercayaan diri.

Barry memutar bola matanya mendengar perkataan Sandara yang sangat percaya diri. Sedangkan Ranty yang tengah minum pun sampai tersedak.

"Memangnya Pak Levin mengenalmu dan peduli padamu?" tanya Ranty frontal sebelum melanjutkan meneguk jus melonnya.

"Tidak. Mana mungkin Pak Levin mengenal dan memiliki kepedulian pada Sandara," Barry mewakili Sandara menjawab pertanyaan Ranty.

Kini giliran Sandara yang membesarkan pupil matanya karena kedua sahabatnya dengan kompak merundungnya. "Tega sekali kalian!" ucapnya kesal. Ia langsung merebut minuman kaleng di tangan Barry yang belum dibuka.

"Perlu kalian ketahui bahwa, kriteria Pak Levin dalam urusan perempuan cukup tinggi. Menurut kacamataku, kamu tidak masuk dalam kriterianya, San. Aku sarankan padamu, berhentilah mengejarnya," beri tahu Barry dengan memperlihatkan ekspresi wajahnya yang serius.

Walau kecewa dengan pemberitahuan Barry, tapi Sandara menyetujuinya melalui anggukan kepala. "Laki-laki seperti Pak Levin yang menurutku nyaris sempurna, pastilah mempunyai kriteria yang cukup tinggi agar mereka bisa saling mengimbangi. Aku tidak mengejarnya, hanya mengagumi beliau saja," ucapnya nelangsa.

"Bar, bagaimana sikap Pak Levin jika sedang berada di rumah?" tanya Ranty penasaran.

"Apa yang aku dapat jika memberi tahu kalian?" Barry balik bertanya.

"Pulang nanti aku traktir kamu makan bakso, tapi satu porsi saja ya. Bekalku sudah menipis. Orang tuaku belum mengirim uang," ucap Sandara jujur.

"Aku juga. Beginilah nasib anak rantauan." Ranty langsung merentangkan tangannya ke arah Sandara dan mereka berpelukan.

"Saat kalian dapat kiriman uang saja aku beri tahukan jawabannya," Barry sengaja menggoda kedua sahabat perempuannya di jurusan Akuntansi.

Mata Ranty melotot. "Kalau begitu kamu langsung dipecat sebagai sahabat kita," ancamnya.

Secret RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang