Part 3

355 48 1
                                    

Happy reading
✳️✳️✳️

Levin mendengar rengekan Barry kepada ayah mereka saat ia memasuki rumah keluarganya. Selama ini ia memang masih tinggal dalam satu rumah bersama orang tua dan adiknya. Sebenarnya ia sangat ingin hidup mandiri dengan tinggal di rumah pribadinya, tapi sang ibu tidak menyetujui pemikirannya tersebut. Daripada membuat sang ibu sedih, akhirnya ia pun memutuskan untuk mengalah. Sang ibu mengizinkannya hidup terpisah saat ia telah berkeluarga nanti.

"Vin," panggil sang ibu dari arah dapur sambil membawa nampan saat melihat kedatangan putra sulungnya.

Karena kedua tangan sang ibu masih memegang nampan, Levin memutuskan hanya mencium kening wanita yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut. "Mereka lagi bahas apa, Ma?" tanyanya pada sang ibu.

"Pesta ulang tahun," Dianti Cantika Adyatama menjawabnya sambil tersenyum.

Levin hanya menanggapinya dengan anggukan tak acuh. Bukannya Levin tidak peduli kepada Barry, hanya saja ia memang jarang ikut campur menyangkut urusan adiknya tersebut tanpa dimintai pendapat.

"Tunggu sebentar ya, Nak. Mama mau mengantarkan minuman mereka dulu, setelah itu baru Mama siapkan makanan untukmu. Kamu pasti sudah sangat lapar, apalagi jam makan malam telah lewat. Atau kamu mandi saja dulu agar tubuhmu kembali segar, setelah itu baru makan," pinta Dianti tanpa memberikan kesempatan Levin menyela ucapannya.

"Tidak usah, Ma," tolak Levin dengan nada lembut. "Mama tidak usah menyiapkan makanan untukku. Aku sudah makan malam tadi di luar," jelasnya sambil memegang kedua bahu sang ibu.

"Benarkah?" Dianti bertanya penuh selidik.

Levin menjawabnya dengan anggukan. "Untuk apa juga aku harus bohong pada Mama," ucapnya meyakinkan.

Tidak menemukan kebohongan pada sorot mata yang dipancarkan sang anak, Dianti akhirnya percaya dan tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu mandilah dulu agar tubuhmu kembali segar," suruhnya.

"Aku ke kamar dulu, Ma," pamit Levin sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

💫💫💫

Ranty hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas berulang kali melihat Sandara yang masih asyik melamun sambil tersenyum sendiri. Tentu saja ia tahu jelas penyebab sahabatnya tersebut bertingkah seperti sekarang. Jujur saja, ia pun masih sulit percaya atas kejadian yang beberapa jam lalu mereka lalui. Berada di dalam satu mobil dengan sosok yang sangat dipuja di kampusnya. Bahkan, ia sangat beruntung bisa menikmati makan malam di meja yang sama dengan sosok tersebut. Ditraktir pula. Entah malaikat dari surga mana yang turun kemarin malam dan menyambangi mimpinya. Jika mahasiswi seantero kampus mengetahuinya, bisa-bisa ia dan Sandara akan menjadi topik pembicaraan yang hangat sekaligus menggemparkan. Bahkan, kemungkinan besar ada yang akan membenci mereka.

"San, aku sudah selesai. Habis mandi dilanjutin lagi melamunnya," Ranty menegur sekaligus menyarankan sambil menepuk pundak Sandara. Alhasil, tindakannya tersebut membuat sahabatnya tersebut terkesiap.

"Ran, sepertinya malam ini aku tidak akan bisa tidur nyenyak," ucap Sandara setelah tersadar dari lamunannya. "Walau aku sangat mengidolakan Pak Levin, tapi aku tidak pernah menyangka akan berada dalam satu mobil dengan beliau. Apalagi makan malam di atas meja yang sama dengannya, ditraktir lagi. Bahkan, beliau mengantar kita pulang," sambungnya dengan mata berbinar.

"Sana cepat mandi, sebelum malam semakin larut dan membuat tubuhmu menggigil kedinginan." Ranty terkekeh sambil mulai mengeringkan rambut basahnya.

"Siap, Komandan!" Sandara bangun dari kasur yang tanpa beralaskan dipan sambil memberi hormat kepada Ranty.

Secret RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang