chapter eleven IV

24.6K 1.8K 0
                                    

ALI

Aku kembali berada diantara hingar-bingar lokasi syuting yang sempat kurindukan. Aku tak menyangka pada akhirnya aku akan merasa nyaman dengan kegiatan baruku. Boleh dibilang, sisa scene-ku paling banyak diantara pemeran lainnya. Selama aku dirawat, mereka tetap melakukan syuting adegan dimana aku tidak berada di dalamnya. Aku menatap lembar skenario dengan semangat. Masih ada dua minggu untuk merampungkan scene-scene yang tersisa. Aku menoleh pada Prilly yang sama seriusnya menatap skenario di tangannya.

"Serius amat.", kataku sambil menyikutnya lembut.

"Duh, 'Li. Ini banyak adegan fightingnya.", aku mendengar kegelisahan dalam nada bicaranya.

"Trus kenapa? Udah bisa 'kan? Waktu itu kan udah latihan.", sahutku enteng.

"Ini bukan soal aku. Ini soal kamu.", aku melihat mata cokelat Prilly menatapku lalu menatap pergelangan tanganku yang masih berbalut perban.

"Ini?", tanyaku sambil mengangkat tangan kananku.

Prilly mengangguk singkat.

"Ini ngga apa-apa. Adegannya juga ngga terlalu berat kok.", jawabku lembut.

Aku melihat Prilly membuka mulutnya lagi, dahinya berkerut hendak memprotesku. Namun sebuah suara mengalihkan perhatian kami, membuat Prilly mengurungkan niatnya.

"DIGO, SISI, take yuk!", aku mendengar suara dari arah set syuting yang berada tak jauh dari kami.

Aku menoleh dan mendapati beberapa kru sudah siap di sekitar set dengan mikrofon dan perlengkapan lainnya. Aku lantas bangkit dan menarik tangan Prilly melangkah menuju set yang sudah menunggu kami.

Setelah konsultasi singkat dengan sutradara, aku dan Prilly bersiap untuk take adegan fighting duetku dengannya. Aku dan Prilly berdiri saling memunggungi dengan kedua lawan main yang bertindak sebagai musuh masing-masing berhadapan dengan kami.

"CAMERA, ROLLING.. ACTION!!!", aku mendengar teriakan singkat sebelum berkonsentrasi penuh pada lawan mainku.

Sesuai dengan latihan, aku menangkis dan melakukan serangan pada lawan mainku secara bergantian dengan Prilly. Adegan ini bisa dibilang cukup rumit, karena aku dan Prilly dalam adegan ini harus duel dengan sepasang pemeran yang memiliki dasar beladiri. Namun semuanya berjalan lancar, setelah beberapa kali take, sutradara menyatakan scene hari ini sudah selesai.

Aku menoleh pada Prilly yang sedang menyeka peluh di dahinya. Tante Ully melangkah menghampiri Prilly dan menyodorkan handuk kecil padanya, begitu juga kan Andin yang kini menyodorkan sebotol air mineral padaku.

Kami menghampiri sutradara dan memintanya memutar ulang adegan yang tadi kami lakukan. Aku menatap layar kecil itu dengan seksama. Mataku membelalak tak percaya melihat betapa sempurnanya adegan fighting yang dilakukan Prilly mengingat ia adalah seorang pemula. Aku melihat Prilly menekuk lututnya dengan baik, dan tangannya yang terkepal sempurna. Aku melihat gerakanku singkat, dan merasa puas bahwa perban di tanganku tak mempengaruhi gerakan fightingku.

Aku kembali menatap Prilly di layar kecil itu. Bagaimana ia menggerakkan tangkisnya yang tampak kokoh, dan bagaimana pukulannya tampak begitu kuat dan nyata. Aku menoleh pada Prilly dan menyentuh lengannya yang kini terasa jauh lebih kencang dari saat pertama aku berjumpa dengannya. Prilly menyeringai jahil penuh kemenangan, sementara aku mengangguk-angguk mengakui kehebatannya sebagai pemula.

Aku dan Prilly masih serius memperhatikan layar kecil itu sambil mengevaluasi gerakan kami. Kemudian adegan penutup pun muncul. Aku melihat Prilly yang melompat dan menggapai bahuku sebelum aku menyambut kedua tangannya dan berputar, membuat tubuh Prilly melayang dengan kaki terulur yang berakhir menendang telak kedua lawan fighting kami.

Aku mengayun tubuh Prilly sekali lagi, sebelum kembali menurunkannya dan berdiri saling memunggungi. Aku dan Prilly kembali memasang kuda-kuda rendah dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Ekspresi Prilly membuatku sungguh terkesan, wajahnya tampak keras dan tangguh seperti seorang figther sejati. Sedangkan aku, memasang wajah seperti itu bukanlah hal yang baru bagiku.

Aku bertepuk tangan sambil tersenyum ke arah Prilly yang tampak menatapku terkejut.

"Bagus banget kamu.", kataku bangga sambil kembali merangkul bahunya.

"Maksudnya?", tanya Prilly sambil menatapku bingung.

"Bagus banget adegan tadi. Kamu keliatan kuat dan mendalami karakter fighter itu. Aku suka banget. Mungkin aku salah nilai kamu waktu kita pertama ketemu.", kataku sambil terkekeh.

Prilly tampak tersipu sejenak, sebelum akhirnya ia menegakkan tubuhnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

"Siapa dulu coach-nya?!", jawabnya sambil tersenyum lebar dan mengangkat-angkat kedua alisnya ke arahku.

------------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang