chapter nine I

33.6K 2.2K 1
                                    

ALI

Aku menatap Kak Alya, Umi, dan Kak Riri bergantian. Mereka tampak serius membaca kertas kontrak dari production house yang memasangkan aku menjadi lawan main Prilly. Bukan. Bukan Prilly yang jadi masalahnya. Masalahnya adalah aku baru sadar jika ini bukanlah ring tinju atau matras fighting. Aku bukan hanya harus mengeluarkan jurus fightingku, tapi aku juga harus berakting.

"'Li, lo udah mantep 'kan?", bisik Kak Alya di telingaku.

"Yah. Gue terlanjur iya-in kemaren sama Prilly.", bisikku sambil menghela napas.

"Kok lo kayak ngga ikhlas gitu? Ngga usah dipaksa sih, klo ngga mau.", bisik Kak Alya lagi.

"Udah. Tanda tangan aja. Daripada gue berubah pikiran.", sahutku cepat.

Umi pun mengangguk dan membubuhkan tanda tangannya di atas kertas yang aku sendiri tak tahu apa isinya. Kak Alya pastilah lebih berpengalaman soal kontrak kerja di dunia entertainment semacam ini. Aku memandang wajah-wajah berseri dari petinggi PH dan pihak yang terlibat dalam produksi film ini. Kami semua bangkit dan berjabat tangan tanda kesepakatan kerja sama.

Aku melangkah keluar dari ruang meeting dan bersandar pada dinding di samping pintu yang masih terbuka. Kak Riri dan Umi masih berada di ruang meeting. Sepertinya membicarakan soal jadwal syuting dan sebagainya. Aku sendiri masih belum mau memikirkan soal itu. Aku justru memikirkan Prilly. Mungkin soal fighting dan beladiri aku lah yang mengajarinya. Tetapi ini hal baru bagiku, dan memang kenyataannya aku harus belajar banyak dari Prilly.

Aku merasakan ponselku bergetar karena aku mengaktifkan mode silent saat meeting tadi. Aku merogoh saku celanaku dan menatap nama yang berkedip di layar ponselku. Panjang umur!, kataku dalam hati. Senyum tersungging di wajahku tanpa aku sengaja. Aku lantas menyentuh layar ponsel dan menempelkannya ke telingaku.

"Hei 'Prill.", sapaku pada gadis di seberang telepon.

"Hei. Lagi di mana 'Li?", tanyanya ceria.

"Lagi di kantor PH.", jawabku singkat.

"Kantor PH? Jadi lo beneran nerima kontraknya?", aku mendengar ada semangat dalam kalimatnya.

"Iya, jadi. 'Kan gue udah janji sama lo. Oya, lo lagi di mana 'Prill?", sahutku.

"Di jalan. Mau ke dojo. Emang hari ini ngga ada latihan ya?", tanya Prilly bingung.

"Abis dari sini, gue langsung pulang kok. Paling mampir ke kampus bentar. Ngajuin cuti. Katanya syutingnya sekitar dua bulanan ya?", jelasku pada Prilly.

"Iya 'Li. Yaudah kalo gitu ketemu di rumah lo aja ya.", kata Prilly mengakhiri telepon.

"Oke. Bye 'Prill.", kataku sebelum menutup telepon.

"Bye, 'Li.", aku mendengar suaranya sebelum sambungan telepon terputus.

Aku menyimpan kembali ponselku ke saku celana. Aku menghampiri Kak Alya, Umi, dan Kak Riri yang sejak tadi berdiri di dekat ruang tunggu, menunggu aku yang sedang menerima telepon.

"Jadi gini 'Li. Sekarang kita ke kampus lo, urus cuti. Selebihnya ntar Kak Riri yang jelasin di rumah. Oke?!", kata Kak Alya padaku.

Aku hanya mengangguk dan melangkah mengikuti mereka menuju lift. Aku masih belum percaya soal keterlibatanku di dunia entertainment. Tetapi aku berusaha tidak memikirkannya. Hanya satu hal yang membuatku fokus. Aryo tidak boleh lagi berdekatan dengan Prilly. Aku tidak mau dan tidak suka hal itu terjadi.

------------------------------------------------------

Aku melangkah turun dari mobil dan menekan tombol alarm. Aku menatap sekilas mobil Prilly yang terparkir di samping mobilku, lantas menyusul Kak Alya, Umi dan Kak Riri melangkah masuk ke dalam rumah. Aku menoleh kesana-kemari mencari keberadaan Tante Ully atau Prilly. Namun aku tak menemukan siapapun. Aku melangkah menuju dojo lalu mendapati Tante Ully dan Prilly sedang berbincang dengan salah seorang pelatih di dojoku.

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang