chapter nineteen I

19.3K 1.4K 1
                                    

ALI

Matahari mulai tinggi, namun aku masih berbaring di ranjangku. Aku membiarkan jendela kamarku tertutup rapat. Aku jauh lebih nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu tidur di sisi ranjangku. Mungkin aku tampak seperti seorang yang kehilangan semangat hidup. Terlihat menyedihkan karena terus menyendiri di dalam kamarku. Namun kepalaku tak berhenti berpikir. Aku terus memikirkan Prilly. Wajah cantiknya tak pernah benar-benar hilang dari kepalaku.

Aku bangkit dari ranjangku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku. Bahkan pencahayaan temaram tak mampu menyembunyikan kondisi kamarku yang kini bak kapal pecah. Sprei tempat tidurku sudah tertarik kesana kemari, tak lagi menutupi ranjang dengan sempurna. Bed cover terjatuh di sisi lain tempat tidurku. Gelas-gelas kotor berjajar di meja belajarku, lengkap dengan botol-botol air minum yang beberapa hari ini menjadi satu-satunya alasanku keluar dari kamar, untuk menghampiri kulkas.

Aku menegakkan tubuhku. Berusaha berdiri tegak, lantas menatap cermin bersar yang kini sedikit berdebu. Aku terpaku menatap bayanganku. Seorang laki-laki balas menatapku dari dalam cermin. Ia mirip denganku, namun tampak sedikit lebih tua. Ia tampak lesu dengan kantong mata yang hitam dan besar menggantung di bawah kedua matanya. Rambutnya kusut masai, apalagi pakaiannya yang kini berantakan. Aku menatap bayanganku sendiri dengan kasihan.

Aku memang masih teringat apa yang terjadi kemarin. Apa yang dikatakan Prilly memang sulit untuk aku mengerti. Tetapi aku ingat betapa aku tak bisa menemukan kebohongan di mata cokelat indahnya. 'Ali, goblok banget sih, lo. Ayo paksa otak lo! Sejak kapan lo jadi pikun! Breng***!' , umpatku dalam hati sambi menjambak rambutku yang kini tambah berantakan.

Aku menghela napas panjang, lantas menatap pintu kamarku yang mungkin sudah bosan kubanting setiap kali aku masuk dan keluar kamar. Aku melangkah dan menggapai kenop pintu, memutarnya dan melangkah keluar kamar. Pertama kalinya dalam minggu ini aku menginjakkan kakiku keluar kamar bukan karena aku haus atau lapar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang tampak kosong. Kak Alya mungkin sedang berada di luar kota. Umi, entahlah, mungkin sedang mengurus butiknya. Aku melangkah menuju tempat yang sudah lama tak kudatangi. Tempat yang pernah menjadi satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri.

Aku mendengar suara berdebam familiar yang kurindukan seiring jejak langkahku menuju ambang pintu dojo. Aku berdiri tepat di anak tangga teratas, tangga yang menghubungkan pintu rumah dengan dojo abah yang selama ini menjadi rumah keduaku. Tempatku berkeluh kesah atau sekedar menuangkan apa yang kurasakan melalui sandsack yang menggantung pasrah di sudut-sudut dojo.

Aku melihat Bang Aji sedang melatih beberapa peserta junior di salah satu sudut dojo. Beberapa pemuda lain tampak sedang melakukan pemanasan di sudut lain dojo, sementara di ring tinju aku melihat seorang pelatih pengganti sedang mengangkat target dan membiarkan seorang gadis melayangkan tendangannya tinggi-tinggi mengenai target itu. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma dojo yang kurindukan, lantas melangkah menuruni tangga, menghampiri sesuatu yang begitu menarik bagiku.

Aku berdiri di depan sebuah lemari kaca yang memang aku masih ingat selalu berada di sana. Aku menyusuri satu persatu foto dan piagam serta medali-medali di sana. Aku tersenyum menatap beberapa foto abah disana. Ada rasa rindu yang begitu dalam ketika aku mengingat abah tersenyum bahagia atas kemenangan pertamaku.

Aku kembali menatap isi lemari kaca besar itu. Sebuah sabuk kemenangan keemasan yang masih berkilau begitu menarik perhatianku. Aku membaca tulisan di sabuk emas itu.

Aku tertegun.

Tiba-tiba sebuah bayangan muncul begitu saja di kepalaku. Seperti potongan gambar cepat yang memenuhi kepalaku. Aku berusaha keras mengingat setiap potongan adegan yang terlintas di kepalaku.

Aku menatap wajah bengis yang bermandikan peluh itu, ia menyeringai sinis kepadaku.

Kepalaku berdenyut, aku menggelengkan kepalaku sejenak.

Kemudian aku melihat wajah itu. Aryo. Ia menghampiri seorang pelatih yang kukenali adalah pelatih dari si bengis yang sedang mengangkat tinjunya di depanku ini.

Aku berusaha keras tidak menghiraukan denyut di kepalaku yang terasa semakin nyeri.

Aryo. Jadi dia yang mengatur semuanya agar aku yang berada di ring tinju. Dia ingin si bengis ini menghancurkanku. Tapi, untuk apa?

Kakiku mulai lemas. Aku bersandar di dinding tepat di sebelah lemari kaca berisi penghargaan dojo. Tanganku menggenggam keras rambutku, seolah berusaha menariknya lepas dari kepalaku.

Kemudian wajah itu muncul. Wajah cantik yang tak pernah benar-benar pergi dari benakku. Mata cokelatnya yang indah menatapku sendu dengan air mata menggenang di kelopaknya. Aku menatapnya melalui pembatas ring tinju, tangannya terulur ke arahku. Aku melihatnya mengatakan sesuatu, namun aku tak menangkap apa yang dikatakannya.

Kemudian aku mengerti. Tentu saja. Tentu saja Aryo melakukan semuanya karena Prilly. Karena ia ingin Prilly kembali padanya.

Aku membiarkan diriku terduduk bersandar ke dinding dojo. Kakiku lemas. Denyut di kepalaku sedikit berkurang. Aku masih memijat pelipisku perlahan. Rasa sakit yang menyerang kepalaku perlahan menghilang. Sebaliknya, ada rasa tentang Prilly yang semakin kuat. Ada rasa kehilangan yang amat mendalam, juga rasa rindu yang sepertinya baru kusadari begitu dalam menghinggapiku.

------------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang