chapter twenty III

17.7K 1.4K 2
                                    

PRILLY

Aku membiarkan diriku menumpahkan segala yang aku rasakan. Kubiarkan jemariku mengekspresikan apa yang ada dalam hatiku. Jutaan emosi memercik melalui nada dan melodi yang terdengar dari piano tua yang telah lama tak kusentuh lagi. Dengan segenap hati aku nyanyikan liriknya hanya untuk Ali. Aku membuka mataku sejenak, melihat Ali yang tampak sedang memejamkan matanya sambil bersandar di dekatku, menopangkan sebelah tangannya di grand piano yang kini masih kumainkan.

Aku kembali larut dalam lirik lagu milik coldplay favoritku. Aku tak berharap banyak soal ingatan Ali akan diriku, akan keberadaanku di masa lalunya. Aku hanya berharap aku masih bisa membuatnya jatuh hati padaku. Aku ingin ia tahu betapa aku tak pernah ragu untuk bertahan dan memperjuangkan perasaan yang pernah ada, seperti yang pernah ia lakukan untukku. Saat ia mengorbankan perasaannya untuk terus berkedok sebagai seorang sahabat ketika nyatanya ia memiliki rasa cinta untukku.

Aku tersentak saat merasakan sesuatu bersandar padaku. Jariku berhenti menari di atas tuts piano. Aku membuka mata dan menoleh melihat Ali yang kini duduk tepat di sebelahku, namun ia membelakangi pianoku. Aku terdiam sejenak, menunggu reaksinya. Aku sudah menyiapkan mentalku jika Ali tiba-tiba merasa sakit kepala dan marah-marah karena aku seolah memaksanya mengingat masa lalu yang terkubur di kepalanya.

"Li? Kamu pusing ya? Aku minta ma..", kata-kataku terputus karena kaget.

Aku sontak membelalakkan mataku, Ali menarikku. Ia menarikku ke dalam pelukannya. Ia memelukku begitu erat. Napasku mulai sesak dan wajahku mulai panas. Ali, apa kamu tahu, aku sangat merindukan ini. Merindukan pelukanmu yang hangat dan menenangkanku, kataku dalam hati.

"Kamu ngga boleh minta maaf terus sama aku. Aku yang salah. Aku yang nyakitin kamu. Aku yang lupa semua kenangan kita.", suara Ali terdengar bergetar.

Aku merasakan tubuh Ali berguncang dalam pelukanku. Aku mengusap punggungnya perlahan, lantas menjauhkan tubuhku darinya untuk menatap wajahnya. Matanya tampak begitu sendu melihatku. Aku melihat sesuatu di sana. Aku melihat tatapannya yang dulu untukku.

"Li? Kamu ngga apa-apa kan? Jangan dipaksain, aku cuma mau ngehibur kamu aja kok disini. Jangan sampe kamu sakit lagi.", kataku lembut penuh perhatian.

Aku menyunggingkan senyum padanya, namun yang kulihat di wajah Ali justru sebaliknya. Ia memejamkan matanya dan kembali menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku terdiam merasakan getaran hebat dari tubuhnya. Isak tangisnya sayup-sayup terdengar di telingaku. Aku terdiam mematung. Ali, menangis dalam pelukanku.

"Kamu kenapa? 'Li, kamu ngga apa-apa kan? Kita ke dokter aja yuk!", ajakku sambil mengusap punggungnya penuh kasih.

Ali tak bicara, tangannya mencengkeram erat sisi bajuku. Aku tak kuasa menahan diriku, akupun  tenggelam dalam air mataku sendiri. Ali mungkin mulai menyadari aku menangis. Ia menarik dirinya dan menangkupkan kedua tangannya di wajahku, menatapku dengan seksama.

"Aku minta maaf sama kamu. Aku janji, aku ngga akan nyakitin kamu lagi. Aku janji akan buat kamu ngerasain apa yang dulu pernah kamu rasain sama aku. Aku janji aku ngga akan pernah biarin kamu sendirian. Aku janji ngga akan pernah ngelupain sunset kesukaan kita. Aku janji akan selalu jaga kamu. Aku janji aku ngga akan biarin penghapus manapun, menghapus kenangan kita.", kata Ali denga  mata berkaca-kaca dan wajah basah karena air mata.

Aku menatap kedua manik matanya yang balas menatapku tajam. Ada rasa haru membuncah.

"Kamu.. Kamu inget 'Li?", tanyaku tegagap.

Ali tak menjawab, hanya satu anggukan pasti yang kulihat di wajahnya. Hatiku mencelos. Ali ingat?!

"Semuanya?", tanyaku lagi.

"Semuanya tentang kamu. Kecuali soal Aryo.", jawab Ali singkat.

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang