chapter six I

34.8K 2.3K 0
                                    

PRILLY

Aku memandang sekelilingku. Aku berada di tempat yang familiar. Aku melihat ring tinju, sandsack yang berjajar, matras senam, aku mengernyitkan dahiku mengingat-ingat tempat ini. Aku menoleh dan mendapati sebuah lemari kaca besar. Aku melangkah menghampiri lemari kaca yang penuh dengan piala, piagam, dan medali dalam satu nama: Muhammad Ali Syarief.

'Ali?', tanyaku dalam hati. Jadi aku berada di dojo milik Ali?!, batinku. Aku menatap satu demi satu benda yang berjajar rapi di dalam lemari kaca tersebut. Menatap sebuah foto Ali yang masih muda, memamerkan medalinya dengan senyum bahagia. Ada rasa hangat yang menelusup ketika aku melihat wajah dan senyum Ali, meski hanya di foto. Ali yang kutemui belakangan ini sepertinya bukan Ali yang sama.

Aku merasakan seseorang melangkah perlahan dan berhenti di belakangku. Aku membalikkan tubuhku dengan cepat, dan mendapati Ali berdiri amat dekat denganku. Aku melihat kedua matanya yang menatapku tajam dan dalam, namun tak ada senyum di wajahnya. Aku memejamkan mataku, takut mendengar kata-katanya yang ketus. Mungkin ia akan mengatakan kalau aku tidak sopan melihat-lihat benda miliknya.

"Prill, maafin gue ya 'Prill. Gue emang bodoh. Otak sama mulut gue ngga sinkron. Gue ngga tau kenapa sulit buat gue jadi orang yang ramah dan supel. Bahkan sekedar bicara baik aja gue ngga bisa. Gue ngga bermaksud nyakitin perasaan lo. Sedetik setelah gue bicara kasar soal Aryo itu, gue sadar gue salah. Tapi gue tau semua terlambat. Lo terlanjur sakit hati. Gue minta maaf ya 'Prill. Gue ngga mau loat lo kayak gini. Ini salah gue.", aku mendengar Ali berbicara panjang lebar.

Suaranya begitu lembut dan perlahan. Aku mengernyitkan dahiku, tak percaya dengan apa yang kudengar. Tak lama aku merasakan sesuatu yang hangat menggapai tanganku dan menggenggamnya. Aku mengerjapkan mataku, membuka mataku perlahan.

Aku melihat Ali menggenggam tanganku. Ia duduk di sisi ranjangku. Aku mengernyitkan dahiku lagi, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Aku memutar bola mataku, memandang sekeliling. Jadi aku berada di rumah sakit?!, tanyaku dalam hati. Aku semakin bingung dengan apa yang kualami. Apakah tadi itu hanya mimpi? 'Tapi mengapa semua begitu nyata?!', batinku.

Aku merasakan tanganku diangkat. Aku kembali memicingkan mataku menatap Ali yang kini mencium punggung tanganku yang berada dalam genggamannya. Sebentuk rasa hangat mengaliri seluruh pembuluh darahku. Aku tersenyum melihatnya, namun kurasa ia belum menyadari bahwa aku telah terbangun.

Aku menggerakkan tanganku perlahan, membuat Ali tersentak lantas menoleh menatap wajahku. Aku melihat ada rasa takut dan khawatir di wajahnya. Ia menundukkan kepalanya saat menyadari aku telah terbangun. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasakan sebentuk penyesalan dalam genggaman tangannya.

"Ali?", aku memanggilnya dengan susah payah.

Aku melihat Ali menoleh ke arahku dengan cepat. Ia menatapku bingung. Ah, apa benar aku melihat Ali hampir menangis?, tanyaku dalam hati. Apa Ali mengkhawatirkan aku?!, batinku.

"Iya 'Prill. Gue di sini.", aku mendengar suaranya lirih dan parau.

Aku menatapnya khawatir. Dia tampak sangat berantakan. Kalau benar yang dikatakan Papa dan Mama, berarti Ali belum tidur. Apa benar ia kembali ke rumah sakit untukku?, aku bertanya-tanya. Aku menarik kedua sudut bibirku perlahan. Aku ingin menyunggingkan senyum terbaikku padanya. Pada malaikat yang menyelamatkanku dari dinginnya kematian. Aku mengenggam tangannya erat, membuatnya terkejut. Aku ingin ia tahu bahwa ia tak perlu khawatir. Aku memang membenci sifat ketusnya, namun ada sesuatu yang membuatku sulit menghapusnya dari kepalaku. Ada rasa senang yang berlebihan menjalar dalam tubuhku ketika aku tahu bahwa Ali adalah penyelamatku, dan ia yang menemaniku selama aku di rumah sakit. Ada rasa bahagia ketika apa yang terjadi, hampir mendekati apa yang kuharapkan. Ketika aku berharap Ali akan menyelamatkanku, aku sadar aku sudah mulai menyimpan perasaan khusus padanya. Alangkah bahagianya aku melihat Ali ternyata memperdulikanku lebih dari yang kukira.

------------------------------------------------------

ALI

Aku terbangun karena sinar matahari yang menyilaukan dari sela penutup jendela di kamarku. Aku mengerjapkan mata sejenak lantas bangkit sambil memegangi perutku yang masih terasa nyeri. Pasti karena pukulan preman tak jelas yang saat itu ingin mencelakai Prilly. Aku melangkah keluar dari kamar, menjejakkan kakiku menuruni tangga menuju ruang tivi yang sepi.

"'Mi?! Umi?!", aku sedikit berteriak memanggil Umi, namun tak ada jawaban yang kudengar.

"Kak? Kak Alya?!", aku mendorong pintu kamar Kak Alya dan menjulurkan kepalaku ke dalam kamarnya yang kosong.

Aku membalikkan tubuhku dan menutup pintu kamar Kak Alya. Aku melangkah perlahan menuju lorong belakang yang menghubungkan rumah dengan dojo. Aku mendengar bunyi gaduh yang biasa kudengar dari dojo. Aku melangkah menuruni tangga dan mendapati Kak Riri di ruangannya sedang menatap serius ke layar televisi.

"Kak? Umi mana? Kak Alya?", tanyaku sambil menjulurkan kepalaku melalui pintu yang terbuka.

"Ke butik. Tadi pagi.", katanya tanpa menoleh kepadaku.

"Tadi pagi?", tanyaku lagi.

"Iya tadi pagi, ini udah siang 'Li. Lagian tumben lo bangun siang banget.", jawabnya lagi masih menatap layar tivi.

'Berita berikutnya datang dari aktris muda berbakat, Prilly Latuconsina. Aktris cantik yang kabarnya sedang mempersiapkan diri untuk film layar lebar terbarunya ini baru saja tertimpa musibah. Dua orang pria tidak dikenal, diketahui melakukan percobaan penculikan. Namun digagalkan oleh seorang pemuda tampan yang mahir beladiri.'

Aku melangkah masuk ke dalam ruangan Kak Riri dan ikut menatap layar tivi. Aku melihat gambar di tivi itu bergoyang dan tidak stabil. Tampaknya kameramen mengambil gambar itu sambil tergesa-gesa berjalan menuju objek yang ingin direkamnya. Aku melihat perkelahianku dengan dua penculik itu. Oh, tidak, pikirku. Wajahku tampak jelas di kamera. Menagapa kemarin aku tidak sadar banyak orang di sekitarku?!, pikirku.

'Siapakah dua laki-laki misterius yang melakukan percobaan penculikan kepada Prilly? Apakah motif dari kejahatan yang dilakukan kedua orang itu kepada Prilly? Siapakah pemuda misterius yang menyelamatkan Prilly? Kekasihnya kah?'

Aku mendengar narasi penutup berita yang penuh dengan wajahku yang panik dan wajah Prilly yang lemah dalam gendonganku. Aku terpaku sejenak hingga Kak Riri membuka suara.

"Waduh, 'Li. Jadi artis mendadak lo?!", komentar Kak Riri sambil berdecak.

Sementara yang bisa kulakukan hanya diam. Aku menatap tivi dan wajah Kak Riri bergantian.

Aku mendengar ponselku berdering. Aku lantas merogoh saku celana pendekku dan mengeluarkan ponsel yang bergetar lemah dalam genggamanku. Aku menatap nomor tak dikenal yang berkedip di layar. Aku mengernyitkan dahi, namun sesuatu dalam diriku mengatakan agar aku menjawab telepon itu.

"Halo?!", sapaku sambil menempelkan ponsel ke telingaku dan melangkah keluar dari ruangan Kak Riri.

"Halo?! Apa benar saya berbicara dengan saudara Muhammad Ali?!", aku mendengar suara berat dengan kalimat formal.

"Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?", jawabku tak kalah formal.

"Saya dari kepolisian, ingin menginformasikan perkembangan kasus yang terjadi pada saudari Prilly beberapa hari lalu.", jelasnya padaku.

"Oh, iya Pak. Ada yang bisa saya bantu?", tanyaku antusias.

"Saudara Muhammad Ali, bisa tolong datang ke kantor?", tanya polisi itu lagi.

"Tentu, Pak. Saya segera kesana.", jawabku mantap.

"Terima kasih. Selamat siang.", katanya lagi mengakhiri sambungan telepon.

Aku menutup telepon setelah menjawab salamnya terlebih dahulu.

"Siapa 'Li?", tanya Kak Riri yang menjulurkan kepalanya keluar dari pintu ruangannya di belakangku.

"Duh! Lo ngagetin aja sih Kak!", omelku sambil menoleh ke belakang.

"Telepon dari infotainment ya?", tanya Kak Riri menggodaku.

"Bukan.", jawabku sambil memutar bola mataku, lantas melangkah cepat menaiki tangga menuju kembali ke rumah.

------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang