chapter twenty four IV

18.3K 1.3K 2
                                    

ALI

Matahari mulai turun. Langit senja yang indah mulai mewarnai sekitarku. Aku menatap lurus ke arah jalanan yang tak begitu ramai di depan kami. Aku melirik Prilly sejenak yang masih duduk di sampingku dengan seatbelt yang terpasang di tubuhnya. Si mungil sedang menatap ponselnya, menyusuri satu demi satu foto di iphonenya. Foto-foto saat wisudaku tadi.

Tak lama kemudian Prilly mengunci layar ponselnya. Ia menatap ke jalanan di depan kami, lantas menatap ke sekeliling. Prilly lalu menoleh ke arahku.

"Loh, kita mau ke mana 'Li? Bukannya kita mau pulang? Dinner sama keluarga kamu?", tanya Prilly bingung.

Jantungku berdegup tak beraturan. Aku sudah menduga Prilly akan menyadari arah jalan yang kuambil berbeda dengan arah pulang kerumah. Kami menyusuri jalan yang sedikit menanjak, dengan pepohonan tinggi di sisi kanan dan kiri jalan. Sayang sekali Prilly keburu menyadarinya padahal sedikit lagi kami akan tiba di tempat tujuan yang kurahasiakan darinya.

"'Li? Kok diem? Kita mau kemana sih?", Prilly menggerakkan tubuhnya, duduk menghadap aku yang menghindari kontak mata dengannya.

"Ssst. Ini surprise. Kalo aku kasih tau, ngga surprise lagi dong.", jawabku akhirnya.

Aku mengulurkan tangan kiriku, menyentuh pipi kanannya yang tembem dan mendorongnya kembali menatap lurus ke depan, bukan menatapku. Karena hal itu akan membuatku semakin gugup.

"Dari kemaren kamu sukanya surprise melulu. Kamu kan tau, aku orangnya ngga sabaran.", celoteh Prilly yang kini mengerucutkan bibirnya.

"Nah, ini sampe.", jawabku sambil membelokkan kemudi dan mengehentikan mobil tepat di lobby restoran.

"Wah, ke sini lagi?", tanya Prilly dengan mata berbinar.

Ia pasti masih ingat. Tempat ini adalah tempat kenangan untuk kami berdua. Aku mengangguk dalam diam sambil tersenyum.

Prilly mengulurkan tangannya hendak menarik tuas kecil pembuka pintu.

"Tunggu!", kataku sambil menyentuh tangannya.

Aku mengulurkan sebuah scarf putih dan mengangkatnya di depan wajah Prilly.

"Surprise!", kataku lagi.

"Ngapain?", tanya Prilly sambil mengerutkan dahinya.

"Udah. Pake dulu ini.", kataku sambil memutar bahunya, membelakangiku.

Aku memasangkan scarf itu di wajah Prilly, menutupi matanya. Prilly berdecak kesal.

"Ck. Ngapain sih pake beginian 'Li? Aku udah laper tau.", omel Prilly lagi.

"Iya. Ini udah kok. Bentar. Aku bukain pintunya ya.", jawabku setelah mengikat scarf itu di belakang telinganya.

Aku beranjak keluar dari mobil, menyerahkan kunci pada petugas valet dan menghampiri pintu Prilly. Aku membuka pintu dan menggenggam tangannya, membantunya keluar dari mobil.

"'Li, aku pake high heels loh ini, awas ya kalo aku sampe jatoh.", omel Prilly sambil melangkah perlahan di sebelahku.

"Ngga akan jatuh, bawel. Ini aku pegangin.", sahutku menahan tawa.

Aku menggenggam tangan Prilly terus melamgkah ke dalam resto. Menghampiri meja yang sudah kusiapkan sejak beberapa minggu lalu. Aku memang menyewa sebagian area resto untuk momen ini. Aku ingin semuanya begitu privat hanya untuk aku dan Prilly saja.

Aku menghentikan langkahku tepat di depan meja yang sama yang dulu kami tempati saat pertama kali kami kesini. Meja itu berada di balkon terbuka menghadap hamparan menghijau yang setiap malam tiba akan menampilkan kedip lampu dari pedesaan yang terletak tak jauh dari resto kami. Sebuah desa di pegunungan.

"'Li? Udah sampe?", tanya Prilly.

"Udah. Ini aku buka ya..", sahutku pelan.

Aku melepas genggaman tanganku dan membuka ikatan scarf di matanya. Aku menatap kedua mata yang tertutup itu lekat-lekat. Mata indah itu membuka perlahan, menampilkan bola mata cokelat yang indah yang selalu aku rindukan.

---------------------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang