chapter eight I

31.4K 2.2K 3
                                    

ALI

Aku menyandarkan diriku di sisi ring tinju. Tangan kananku bergerak perlahan memasang handwrap di tangan kiriku. Suara berdebam muncul dari berbagai penjuru dojo, seperti biasa memanjakan telingaku akan kenangan tentang Abah. Pikiranku melayang ke senja yang indah, senja yang selalu mengingatkan aku pada lelaki yang mengajarkanku untuk menjadi orang kuat yang rendah hati.

Senja keemasan itu membawaku kembali pada sore yang lalu. Saat aku untuk pertama kalinya mengatakan isi hatiku pada orang lain. Pertama kalinya isi hati, otak dan bibirku bisa sinkron dan berjalan beriringan. Aku menatap kedua telapak tanganku yang kini sudah berbalut handwrap. Aku merasakan lagi tubuh mungil yang gemetar kedingingan itu berada dalam pelukanku. Sebentuk rasa hangat mengaliri setiap pembuluh darahku. Ketika aku teringat betapa nyamannya saat aku menyandarkan daguku di bahunya.

Aku merasakan wajahku panas. Aku memejamkan mataku karena malu. Malu pada diriku sendiri. Aku akhirnya mengakui perasaan aneh yang selama ini kutepis sendiri. Mata cokelat yang indah itu membuatku percaya, bahwa ada saatnya aku harus kembali membuka diri.

Aku menarik salah satu sudut bibirku membentuk sebuah senyuman ketika aku mendengar suara mesin mobil menderu perlahan dan berhenti di halaman depan dojo. Aku menahan diri untuk tidak berlari ke pintu dojo dan melihat sosok yang sejak tadi sudah kutunggu kedatangannya.

"Makasih ya, 'Ma!", teriak Prilly sambil melambai ke arah jendela mobil yang terbuka.

Prilly membalikkan tubuhnya dan menatapku yang masih mematung sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadaku dan bersandar di ambang pintu. Sementara mobil yang dikendarai tante Ully akhirnya bergerak menjauh meninggalkan dojo. Berarti hari ini tante Ully tidak menunggu Prilly latihan, pikirku. Prilly melangkah perlahan ke arahku. Ia tampak bingung melihatku. Mungkin ini memang salahku karena aku pernah bersikap kasar padanya.

"Pagi, 'Prill.", sapaku sambil tersenyum.

"Eh, pagi, 'Li.", jawabnya sambil tersenyum kikuk.

Aku melihat ia menundukkan wajahnya. Ya, ampun! Apa gue ngga salah lihat? Dia tersipu! Apa jangan-jangan dia inget kejadian di pantai kemarin?!, aku bertanya dalam hati.

"Gue telat ya?", tanyanya sambil menatapku.

"Ngga kok. Yuk, latihan. Udah siap?!", tanyaku sambil membalikkan tubuhku dan melangkah masuk ke dalam dojo.

Aku membalikkan tubuhku kembali ketika aku sudah berada di dekat salah satu sandsack latihan. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada sambil memperhatikan Prilly yang sedang memasang handwrap pink ke tangannya. Aku terus memperhatikan wajahnyabyang serius menatap handwrap yang tergulung perlahan, hingga aku sadar Prilly melakukan kesalahan dalam memasang handwrapnya.

"Eh, tunggu!", kataku sambil melangkah mendekatinya.

Prilly hanya mengangkat wajahnya dan menatapku bingung.

"Itu, salah.", jawabku canggung.

"Eh, apanya yang salah?", Prilly tampak bingung, menatap wajahku dan handwrap pink itu bergantian.

Aku menarik tangannya ke dalam genggaman tanganku. Dengan cepat aku membuka balutan handwrapnya dan memasangkannya kembali sambil menekankan bagian yang tadi dibalutnya dengan salah.

"Abis begini, kesini. Dibalut dua kali, baru kesini diterusin sampe habis. Kalo ngga, nanti bisa cedera ibu jarinya.", kataku tanpa mengalihkan pandanganku dari tangan mungilnya yang masih berada dalam genggamanku.

"Makasih ya 'Li.", kata Prilly tanpa melihat wajahku.

"Sama-sama.", jawabku singkat.

"Ehem!", aku tersentak mendengar suara Kak Riri yang berdeham keras dari dalam ruangannya.

Aku lantas melepas tangan Prilly yang sejak tadi berada dalam genggamanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal untuk menghilangkan rasa canggung yang kurasakan. Prilly sepertinya merasakan apa yang kurasakan. Ia hanya mengedarkan pandangannya ke sekeliling dojo tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.

"Udah selesai latihannya 'Li? Kalo udah, tolong lo handle kelas pemula dong. Mas Edo ngga masuk hari ini.", kata Kak Riri dari dalam ruangannya.

"Belom. Ini juga baru mau mulai. Sama yang lain aja tuh, Bang Aji kek.", sahutku sambil menarik Prilly mendekat sebuah sandsack.

Aku menoleh dan memelototkan mataku pada Kak Riri yang terkekeh menggodaku dari ruangannya. Setelah melakukan pemanasan, aku membiarkan Prilly menghantam lagi sandsack itu dengan tinjunya yang semakin hari kelihatan semakin baik. Bahkan hari ini aku menambah latihan tendangan untuknya.

Aku memasang bantalan target pada bagian perut dan tanganku. Lalu dengan aba-aba, Prilly dengan lincah melayangkan pukulan ke perutku dan beberapa tendangan ke target yang kupegang. Prilly tampak sangat fokus. Aku menyukai ekspresinya yang begitu kuat ketika ia meninju atau menendang target yang menempel di tubuhku.

Hari beranjak siang. Peluh membanjiri tubuhku dan Prilly. Aku mengakhiri latihannya dengan pendinginan yang biasa kami lakukan. Aku mengulurkan sebotol air yang memang kusiapkan untuknya. Aneh? Aku memang aneh sekarang, dan aku bingung kenapa aku jadi begini perhatiannya pada Prilly. Mungkin benar kata orang, rasa cinta bahkan bisa melelehkan batu yang paling keras sekalipun.

------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang