chapter twenty one IV

17.6K 1.3K 0
                                    

ALI

Aku mencium punggung tangan Umi sejenak sebelum melangkah keluar dari pintu rumah. Umi mengijinkan aku menyetir sendiri mobilku setelah sekian lama aku harus duduk di kursi penumpang dan membiarkan Ujang yang mengendarai mobil. Aku menyalakan mesin mobil, dan tak lama kemudian aku melajukan mobil keluar dari garasi rumah. Aku membunyikan klakson satu kali, disambut lambaian tangan Umi di ambang pintu rumah.

Matahari pagi bersinar cukup cerah. Aku merogoh laci dashboard dan mengeluarkan kacamata hitam dari dalamnya, lalu mengenakannya untuk melindungi mataku dari cahaya matahari yang menyilaukan. Jalanan pagi ini cukup padat. Aku mengulurkan tanganku menyentuh tombol volume di tape mobilku. Kemudian terdengar suara merdu Chris Martin menyanyikan lagu Fix You milik Coldplay.

Pikiranku menerawang, teringat beberapa hari lalu saat ia memainkan piano tua di galeri Pak Suryo. Aku teringat betapa suara indahnya mampu membantuku mengingat kembali kenangan indah kami berdua. Suaranya seperti membentur kepalaku dan mencairkan segala apapun yang membeku di otakku dan memperjelas memori dan ingatanku.

Ponselku bergetar. Aku mengulurkan tanganku ke atas dashboard menggapai ponselku yang berkedip-kedip. Lampu lalu lintas menyala merah. Aku lantas menginjak rem, dan menggapai ponselku. Aku menatap layarnya. Sebuah notifikasi masuk. Ada satu pesan dari Prilly. Aku membukanya, dan dengan satu sentuhan lagi di layar, aku melihat peta lokasi yang dikirimkan Prilly.

Aku selesai photoshoot jam setengah 12. Aku tunggu ya.

Aku membaca pesan whatsapp dari Prilly. Aku mengangguk singkat dan mengirim pesan balasan.

Ok sayang. See you there.

Balasku kemudian. Aku kembali meletakkan ponselku ke atas dashboard, lantas menatap lampu lalu lintas yang perlahan berubah kuning, sebelum akhirnya menyala hijau. Aku menginjak pedal gas dan membiarkan sedan sportku yang sudah lama teronggok di garasi, kembali menggeram di jalanan yang kini tak lagi seramai pagi tadi saat aku keluar dari rumah.

------------------------------------------------------------

Aku membelokkan mobilku, memasuki area parkir kantor manajemen Prilly. Aku merasakan deja vu. Rasanya belum lama aku berada di sini bersama Prilly, saat aku menemaninya menyeleksi calon lawan mainnya di film laga pertamanya. Tapi, sepertinya begitulah caranya takdir bekerja. Aku yang amat awam dengan dunia entertainment justru terpilih menjadi lawan main Prilly, bukan hanya menjadi pelatih adegan laga untuknya.

Aku menghentikan mobilku di lobby gedung. Beberapa wartawan dan kameramen tampak bergerombol di depan pintu masuk. Seorang petugas keamanan gedung menghampiriku. Aku membuka jendela lantas membuka kaca mata hitamku, lalu tersenyum menyapanya.

"Ada yang bisa saya bantu?", kata si petugas keamanan.

"Saya mau jemput pacar saya, Pak. Prilly udah keluar?", tanyaku ramah.

"Oh, Mbak Prilly! Masih di dalam mas. Oalah! Mas Ali toh, yang dulu main film sama Mbak Prilly 'kan?", kata satpam itu dengan volume suara yang agak keras ditambah ekspresi terkejutnya.

Aku hanya tersenyum. Aku melihat dari sudut mataku, beberapa wartawan menoleh ke arah kami tepat setelah si satpam menyebutkan nama Prilly. Tak lama kemudian mereka benar-benar berjalan ke arahku, beberapa kamera terarah kepadaku dengan terang-terangan. Aku hanya menghela napas, yang seperti ini sudah kukira sebelumnya.

"Mas Ali parkir di samping gedung aja dulu. Nanti Mbak Prillynya di telepon aja, biar keluar dari pintu samping.", bisik satpam itu sambil menatapku dari jendela yang masih terbuka.

Aku baru saja hendak mengangguk dan melajukan mobil, namun terlambat. Sekitar enam orang kameramen beserta wartawan dan wartawati datang mengerumuni mobilku. Aku hanya menghela napas lagi, lantas membuka jendela satunya, membiarkan mereka merekam gambarku dan bertanya apapun yang mereka inginkan.

"Ali! Ali yah? Apa kabar?", tanya seorang wartawati.

"Baik. Alhamdulillah baik.", jawabku sambil tersenyum.

"Kemarin sempet sakit parah ya, karena kecelakaan itu? Gimana kondisinya sekarang?", tanya wartawati itu lagi.

"Sekarang udah baik-baik aja kok.", jawabku lagi tanpa menghilangkan senyum di wajahku.

"Sekarang sibuk apa 'Li?", tanya seorang wartawan.

"Sekarang lagi fokus mau nyelesein kuliah yang udah lama terbengkalai.", jawabku ramah.

Beberapa wartawan tampak menoleh ke arah lain. Mereka seperti terpecah perhatiannya antara aku dengan seseorang yang muncul di pintu masuk gedung. Beberapa dari mereka pun beranjak dari mobilku, mengarahkan kamera mereka kepada entah siapa yang berada di sana. Aku berusaha melihat siapa yang muncul di pintu lobby, namun terhalang oleh wartawati tadi yang masih berdiri di depan pintu mobilku.

Kerumunan itu pun seperti terpecah membuka jalan. Aku melihat Prillyku berdiri di depan pintu lobby gedung, dengan kacamata hitamnya, ia tersenyum ke arah setiap kamera yang mengambil gambarnya. Ia menjawab beberapa pertanyaan sebelum ia terdiam menatap aku yang melambaikan tanganku melalui kaca jendela mobilku yang kubiarkan terbuka. Beberapa kamera kembali mengambil gambarku. Aku pun mengenakan kacamata hitamku kembali dan melangkah keluar dari mobil, menghampiri Prilly yang masih terpaku di depan pintu lobby karena gerombolan wartawan yang mengerumuninya.

"Jadi bener, kalian berdua udah resmi pacaran?", tanya seorang wartawan.

Prilly menoleh ke arahku bingung. Aku hanya mengangkat bahu.

"Tadi katanya Ali ke sini mau jemput pacarnya.", sahut wartawan lainnya.

"Kita berdua masih sama kok seperti dulu. Masih deket.", jawab Prilly.

"Berarti bukan pacaran?", sahut wartawan lain.

"Saya maunya pacaran. Tapi, Prillynya ngga mau.", sahutku asal sambil terkekeh.

Prilly menoleh ke arahku, beberapa wartawan bersorak menggoda kami berdua. Aku yakin di balik kacamata hitamnya, Prilly sedang memelototkan matanya ke arahku.

"Nanti ngobrol lagi yah, aku buru-buru nih.", kata Prilly pada gerombolan awak media yang mengerumuni kami.

Prilly menggapai pergelangan tanganku, menarikku berjalan ke arah mobil. Ia masih tetap tersenyum sambil melambaikan tangan kepada awak media yang masih mengambil gambar kami. Aku melangkah ke arah pintu kemudi, tak lama kemudian aku dan Prilly sudah melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang tak begitu ramai.

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang