part 10

264 19 3
                                    

Sejak tadi Rere tak henti-hentinya tersenyum. Saat ini, dirinya dan Zico sudah berada di rumah Dhidy—Sahabatnya saat kuliah di negeri tirai bambu. Namun, bukan karena itu dia bahagia, tetapi karena di sana ada Dimas juga.

"Saat ini, gue lagi jatuh cinta sama orang lain, tapi gue juga gak keberatan kalo buat belajar jatuh cinta sama lo. Seenggaknya, gue tau lo gak akan egois dan minta gue ngejauh dari temen-temen gue, terutama Zico sama Rafa. Mereka bukan cuman sahabat buat gue."

Rere teringat pada ucapan Dimas semalam saat membantunya merapikan baju. Saat itu, Rere dengan desakan Nana, dia memberanikan diri memberitahu Dimas tentang perjodohannya.

Gadis itu pikir, Dimas akan marah dan pergi meninggalkannya, tetapi dia salah. Laki-laki itu justru tersenyum, dan meminta maaf karena dia pergi saat mereka akan bertemu.

"Re," panggil Zico untuk yang kedua kalinya.

"Eh iya, Kak." Rere menghampiri Zico yang sedang berbicara pada Dimas dan Rafa.

"Kamu laper?" Dimas bertanya sembari menyodorkan segelas minuman.

Rere menggeleng, dia menatap tiga pria di hadapannya satu persatu-satu. Tatapannya jatuh pada Rafa yang sedang memperhatikan calon istrinya yang sedang merias diri di kamarnya.

Pernikahannya akan berlangsung besok pagi, karena itulah, Rere menyempatkan diri datang untuk bertemu dengan sahabatnya, karena jika besok sahabatnya itu pasti akan sibuk.

"Kita pernah ketemu?" Rere bertanya pada Rafa yang masih sibuk dengan dunianya.

"Pernah, waktu di bandara, kamu orang yang nangis padahal Dhidy yang aku lamar."

Rere cengengesan, memang saat dirinya pulang ke negara tercintanya ini, dia bersama Dhidy, dan dirinya jugalah yang menjadi saksi Rafa melamar sahabatnya itu.

"Sebelum itu." Rere begitu tak asing dengan wajah Rafa.

"Kayaknya iya."

Rafa kembali mengingat-ingat kejadian saat dirinya pertama kali bertemu dengan gadis di hadapannya. Saat itu, Rafa ingat jelas, jika gadis itu memanggil namanya dengan benar, bahkan sebelum dirinya memperkenalkan diri.

Dimas menatap Rere, gadis itu memiliki aura dan sikap dan berbeda. Sama seperti pertama kali dirinya mengenal Nana. Kedua gadis itu, memiliki banyak kesamaan, dan memiliki aura yang berbeda.

Dimas menatap layar ponselnya, pukul 14.29 itu artinya dirinya sudah dua jam berada di rumah Rafa, hanya untuk menemani Zico dan Rere.

"Co, gue balik, ya. Gue mau siap-siap, nanti sore gue mau balik ke rumah."

Zico mengangguk membiarkan Dimas yang akan pulang, lagipula kehadiran Dimas di rumahnya nanti bisa menemani Nana yang saat ini mungkin masih tertidur.

~~~

Nana terduduk di teras rumahnya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong. Bahkan, saat Dimas datang, gadis itu tak menyadarinya.

"Na," panggil Dimas.

Nana masih mematung. Mengabaikan Dimas yang kini bahkan sudah berada di sisinya. Pria itu menyentuh pelan pundak Nana. Tak ada respon apapun dari gadis itu, bahkan saat dirinya mencoba membawa Nana pada dekapannya, gadis itu masih diam.

"Na." Dimas kembali memanggil Nana, kali ini dia sembari menepuk-nepuk pipi gadis itu.

"Sa—sakit," ucap Nana parau. Tangannya menggenggam erat tangan Dimas.

Dimas mengambil ponselnya, mencari nama Zico dan segera mengirimkan pesan pada pria itu. Dia membopong tubuh Nana, membawa gadis itu ke kamarnya.

"Ada apa?" tanya Dimas lembut setelah mendudukkan Nana di kasurnya.

Nana menatap Dimas, bulir-bulir bening di matanya kini berjatuhan. Ini untuk pertama kalinya dia kembali menangis, bukan karena Cio.

Sepuluh menit berlalu, Rere dan Zico kini sudah sampai. Keduanya sudah berada di kamar Nana. Namun ajaibnya, begitu Zico sampai, tangis Nana berhenti, bahkan kini gadis itu sudah tersenyum.

Tak ada yang benar-benar memahami Nana, selain Rere yang kini menangis di sampingnya. Saat sampai tadi, Rere segera menghampiri Nana, sontak saat itu juga Nana menghapus air matanya. Namun, beberapa saat kemudian, Rere sudah menangis di sampingnya.

Nana menatap kedua laki-laki di hadapannya, meyakinkan mereka bahwa dirinya baik-baik saja, dan meminta mereka berdua agar pergi dari kamarnya. Kini hanya tersisa Rere dan Nana.

"Udah, Re. Gausah nangis gue gak papa, kok."

Rere menggeleng, dia memeluk Nana dari samping. "Gak mau, kamu cerita dulu baru aku berhenti nangis."

Nana mengusap pelan puncak kepala sahabatnya. Niatnya, ingin ngeprank kakaknya justru gagal karena ulah sahabatnya yang terlalu baperan.

"Kalo ceritanya sedih gimana?"

"Aku bakal lebih kenceng nangisnya," ucap Rere sesegukan.

"Gak jadi cerita!"

Rere melepas pelukannya, gadis itu menghapus kasar air matanya. "Aku gak nangis, serius aku gak nangis."

Nana tersenyum, dia menatap Rere sembari tersenyum. "Sini gue bisikin."

Setelah selesai bercerita, Rere kembali pamit karena harus pergi kembali ke rumah Dhidy. Dia juga meminta izin untuk menginap di sana. Nana menyetujuinya, tetapi dengan syarat, Zico harus menemaninya juga. Nana terlalu khawatir, karena Rere adalah gadis polos yang mudah berbaur dengan siapa saja, dia takut jika di sana Rere salah bertemu orang. Zico hanya mengangguk, saat dirinya dimintai Nana untuk menemani Rere.

"Lo gak mandi?"

Nana menatap Dimas malas. Mengingat dirinya dibopong oleh laki-laki itu membuatnya semakin kesal kepadanya.

"Gak! Gue lagi marahan sama gayung."

Dimas mengernyitkan dahinya, tak mengerti dengan jalan pikiran gadis yang saat ini sedang sibuk dengan laptopnya.

"Sejak kapan kamar mandi kamu ada gayung?"

Nana merutuki kebodohan, dua menit lalu dia membaca sebuah story yang lewat di beranda Facebooknya, yang isinya 'Gak mau mandi, lagi marahan sama gayung'. Karena itulah, Nana mengikutinya.

"Salah, maksud gue, gak mau mandi soalnya gak ada gayung."

"Katanya lagi marahan?"

"'Kan udah gue bilang 'salah'. Yang bener tuh, gak mau soalnya gak ada gayung."

"Terus?" tanya Dimas tidak paham.

"Ya, Lo. Beliin gue gayung, bentuknya harus love ada gambar Hello kitty-nya, dan warnanya harus pink," ucap Nana asal sembari menatap laptopnya.

"Ogah!"

"Gue mau telpon Bang Zii aja, mau bilang gue gak mau mandi karena lo gak mau beliin gue gayung hello kitty."

Nana mengambil ponselnya, membuat Dimas menatapnya jengah. Jika bukan karena Nana memiliki kulit yang sensitif, sudah pasti laki-laki itu akan mengabaikan ancamannya.

"Bentar, gue pergi cari dulu." Dimas pasrah dia pergi dari kamar Nana sembari terus menyumpah serapahi gadis itu.

Nana tertawa ngakak, sebenarnya, dirinya sudah mandi. Hanya saja, menjahili Dimas, adalah hobinya, entah sejak kapan dia memiliki hobi seperti itu.

Drttt!

[Gue suka sama dia, tapi sayang. Dia cintanya sama lo!]

Nana mengabaikan pesan dari nomor yang tak dikenalnya itu. Dulu, dia sempat berpikir bahwa pemilik nomor itu adalah Rere. Namun, nyatanya, pemilik nomor itu adalah gadis yang sangat dia benci. Meski Nana tak tahu siapa gadis itu, tetapi Nana sudah membulatkan tekad bahwa gadis itu adalah gadis yang sangat dia benci.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang