Bang Zii is calling
Nana menatap layar ponsel. Ada apa Zico menelponnya di tengah malam seperti ini. Perasaanya semakin berkecamuk, sejak tadi dirinya sangat sulit memejamkan mata dan sekarang justru kakaknya menelpon.
"Hallo ada apa, Bang?"
"Dek, lu di mana? Cepet ke sini, si Cio kecelakaan."
Ibarat mendapatkan setrum, tubuh Nana menegang mendengar ucapan sang kakak. Bibirnya seolah rapat, membuat dia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Tatapannya menjadi kosong.
"R.S Cahaya Medika, kamar nomor 132"
Tut! Tut!
Sambungan telpon terputus. Nana segera berdiri dan mengambil jaketnya. Tak peduli pada Rere yang mengejarnya dengan panik.
"Cio tunggu gue," lirih Nana.
Gadis itu segera tancap gas meninggalkan apartmennya, dari depan pintu masih terlihat Rere yang panik. Namun, tak berani menyusul Nana, karena Rere memang tidak bisa mengendarai motor.
Memecah keheningan malam, Nana terus saja berteriak. Ini untuk pertama kalinya Nana berdoa kepada Tuhan untuk nyawa seseorang.
Begitu sampai di rumah sakit, Nana segera berlari mencari ruangan tempat Cio dirawat.
"Bang, kenapa Cio bisa kecelakaan?!"
Zico mematung, hatinya berdenyut saat melihat betapa kacau adiknya hanya karena mendengar sahabatnya kecelakaan.
'Apa kamu juga akan sepanik ini kalo Abang yang celaka?' tanya Zico dalam hati.
Merasa diabaikan, Nana segera berlari menghampiri orang tua Cio yang berada di depan pintu ruangan yang masih tertutup.
"Keadaan Cio gimana, Mah, Pah?"
Kedua orang tua Cio menggeleng bingung. Beberapa menit yang lalu dokter keluar dan mengatakan bahwa Cio terus saja memanggil nama Nana, karena itulah, Zico yang semula melarang ada yang memberitahu Nana justru menelpon Nana. Namun, hingga saat ini, belum ada dokter yang keluar lagi dari ruangan Cio.
Nana semakin kalut, kakinya seolah tak mampu menahan berat badannya. Perlahan pertahanan Nana runtuh. Bayang-bayang Cio tadi sore masih terlintas di benaknya.
"Na, ko gue ngerasa bakal pergi."
Nana menatap sang sahabat, ada yang berbeda dari diri sahabatnya itu. Pria tujuh belas tahun itu seolah tak memiliki semangat hidup.
"Pergi ke mana?"
Nana bertanya sembari memakan martabak coklat yang Cio beli sebelum ke rumahnya.
"Gak tau, tapi kayaknya gue bakal pergi jauh, dan gak akan ngejagain lo lagi."
Cio menatap Nana yang masih sibuk dengan martabaknya. Entah mengapa, perasaannya selalu memburuk saat melihat Nana, seolah dia tak rela harus pergi. Padahal, dia dan Nana sudah berjanji akan menghabiskan waktu akhir pekan nanti.
Bukan hanya Cio yang mendadak berbeda. Martabak coklat yang dia makan pun rasanya sedikit hambar. Seolah ikut merasakan kesedihan yang Cio rasakan.
"Jangan ngomong aneh-aneh, emang lo mau kalo gue kenapa-kenapa cuman gara-gara lo pergi. Masih belum puas ninggalin gue tiga tahun buat sekolah?"
Nana meletakan makanannya. Dia menatap Cio intens, wajahnya begitu pucat, tetapi suhu badannya normal. Menatap Cio yang sedang linglung membuatnya ikut merasa linglung.
"Aku gak berani janji buat enggak ninggalin kamu, perasaan aku gak enak banget. Aku pulang dulu, ya."
Nana mengangguk, membiarkan Cio mengambil kunci motornya dan pergi dari hadapannya. Tanpa gadis itu sadari, Cio menggunakan aku-kamu saat berbicara.
Untuk membuang semua rasa takutnya, Nana memilih membersihkan diri dan menonton anime. Namun, sepanjang menonton anime pikirannya terus saja tertuju pada Cio, hingga tengah malam akhirnya Zico menelponnya.
"Nana?"
Nana segera bangkit, menghampiri sang dokter yang memanggil namanya.
"Saya, dok." Nana mengangkat tangannya dan segera mengikuti sang dokter memasuki ruangan.
Tubuhnya terasa nyeri saat melihat tubuh Cio dipenuhi oleh berbagai macam alat.
"Naa."
Nana tak berani mendekati Cio, dia terlalu takut bertemu dengan pria itu.
"Naa." Lagi-lagi Cio berusaha memanggil Nana.
Nana menggeleng, dia menutup kedua matanya, tak ingin melihat tubuh Cio yang begitu terluka.
"Jaa–ng—han bhan-–dhel."
Nana memberanikan diri menghampiri Cio. Namun, masih dengan mata tertutup.
"Jangan tinggalin gue, Cio. Gue gak bisa apa-apa tanpa lo." Nana menangis matanya perlahan terbuka.
Cio memalingkan wajahnya, beberapa suster segera menyuruh Nana keluar. Awalnya, Nana menolak dan memilih tetap menemani Cio. Namun, saat dokter mengatakan bahwa Cio akan kembali diperiksa baru Nana mau keluar dari ruangan itu.
Sepuluh menit berlalu, sang dokter kembali keluar.
"Maaf sebelumnya, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, tuhan berkehendak lain. Dengan berat hati saya katakan bahwa saudara Arcio Handershon telah meninggal dunia."
Setelah dokter mengatakan hal itu, kini semua mata tertuju pada Nana yang tak sadarkan diri.
Kanara Cintya adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menikah lagi saat dia berusia lima tahun.
Sejak kecil, Nana tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu karena ibu tirinya di sibukkan oleh anak kandungnya, yang Nana rasakan adalah kasih sayang dari Lena—ibunya Cio dan juga Arya—ayahnya Cio. Karena itulah, Nana begitu dekat dengan keluarga Cio.
Zico Lahary, putra sulung dari Saga Lahary. Sejak kecil, dirinya selalu dimanjakan serta mendapatkan semua hal yang dia inginkan, dan itu semua membuatnya menjadi orang yang arogan serta egois.
Sejak ibunya meninggal, dia selalu menganggap Nana sebagai pembawa sial, begitu pun dengan ayahnya. Bahkan, saat ayahnya menikah lagi pun, Zico mengabaikan Nana dan membiarkan Nana diasuh oleh orang lain.
Arcio Handershon, satu-satunya putra dari keluarga Handershon. Dia adalah laki-laki yang periang dan penyayang. Cio memiliki dua orang kakak perempuan dan satu orang adik perempuan. Sejak kecil, Cio lebih dekat dengan Nana dibanding kedua kakaknya ataupun adiknya dan itu membuat kakaknya selalu iri kepada Nana.
Acara pemakaman Cio sudah selesai. Namun, Nana masih belum sadarkan diri. Zico dengan setia menemani sang adik, mengabaikan tugasnya yang seharusnya membantu pemakaman Cio.
"Dek, ayo bangun. Meski Cio mati masih ada kakak yang bakal jagain kamu, kakak gak akan nyakitin kamu lagi, kakak janji akan selalu bahagiain kamu, ayok bangun."
Tak ada respon, Nana masih memejamkan matanya. Entah apa yang akan terjadi saat gadis itu sadar. Zico hanya berharap dia bisa menjadi obat untuk kesedihan adiknya.
"Kakak sayang kamu, Dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak, Aku Kecewa (Tamat)
Ficção AdolescenteDilahirkan menjadi anak yang dibenci oleh keluarga, bukanlah keinginan seorang Kanara Cintya. Bahkan, dipertemukan dengan sosok laki-laki seperti Arcio Handershon pun bukan keinginannya, tetapi semua itu takdir. Takdir yang menjadikan Nana dibenci o...