Bukhh!
Dimas terkejut saat mendengar sebuah benda jatuh dari kamar Nana. Suaranya begitu keras seolah benda yang jatuh itu cukup besar.
Tanpa menunggu aba-aba, Dimas segera keluar memasuki kamarnya, sejak awal, Dimas memang berniat mengembalikan ponsel gadis itu yang tadi sempat dia gunakan.
Tanpa izin, pria itu membuka pintu. Hal pertama yang dia lihat adalah Nana yang sedang menangis sesenggukan di lantai.
"Na, jangan bilang tadi lo jatuh dari kasur." Dimas menghampiri Nana, sontak membuat gadis itu menghapus kasar air matanya.
"Kalo iya kenapa?"
Dimas tertawa ngakak, bahkan hingga perutnya terasa sakit karena terlalu lama tertawa, sedangkan Nana hanya mendengkus kesal melihat Dimas yang tertawa.
"Makanya kalo tidur itu jangan asal, dapet karma, 'kan." Dimas kembali tertawa.
"Diem! Lo sendiri ngapain ke sini? Ganggu orang lagi nangis aja."
"Cih, gitu aja nangis."
Nana mematung, 'gitu aja' andaikan saja pria itu tahu apa yang membuat dirinya menangis, mungkin dia tak akan mengatakan hal itu.
Andai saja pria itu tahu, betapa sakitnya kehilangan orang yang menjadi alasan dirinya hidup. Kehilangan di saat dirinya benar-benar jatuh cinta tanpa sempat mengutarakannya. Kehilangan di saat dirinya benar-benar membutuhkan kehadiran sosoknya. Mungkin, dia dapat memahaminya. Ya, andaikan saja semuanya tahu, betapa sakit dirinya, saat kehilangan Cio.
"Aku pernah kehilangan dan aku juga pernah ditinggalkan. Namun, di antara semua orang yang pergi hanya ada satu orang yang ingin aku tahan, tetapi tuhan begitu ingin mengujiku. Dia mengambil orang yang aku sayang tanpa memberinya kesempatan meski hanya sekedar berpamitan." Nana menatap Dimas sayu.
"Aku mencintainya, dan bodohnya aku menyadarinya saat dia pergi. Kamu tahu bagaimana rasanya?"
Dimas mengangguk, "Rasanya pasti sakitkan? Aku tak pernah mengalaminya, tetapi aku tahu pasti rasanya sakit. Mungkin, lebih sakit dari ngeliat dia sama orang lain."
"Ya, sakit. Sampai-sampai aku berfikir, 'apa harus aku pergi mengunjungi dia hanya untuk melepas rindu' atau 'apa aku bisa tetap hidup seperti dulu' aku selalu berfikir seperti itu."
Dimas ikut menatap Nana, dari matanya. Pria itu tahu, berapa banyak beban dan rasa sakit yang dia sembunyikan. Dalam hidupnya, Nana seolah menyimpan ribuan guratan kesedihan yang selalu tertutup rapi oleh plester-an tawa dan senyuman.
Dimas tak pernah melihat Nana sehancur ini, entah apa yang sudah dialami gadis itu di masa lalu. Yang Dimas tahu sekarang adalah, dirinya harus melindungi gadis itu dari siapa pun yang akan menyakitinya.
"Aku tak pernah benar-benar punya teman, mereka yang datang hanya untuk berkhianat, membuat aku ragu untuk memberikan mereka tempat dalam hidupku. Namun, aku tak pernah ragu, memberikan mereka kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tak akan mengkhianatiku, seperti Rere yang yang selalu menepati janjinya. Dim, tolong jaga dia. Aku tahu, dia suka sama kamu, dia sayang, dan hanya menunggu waktu sebelum dia cinta sama kamu. Dia itu bucin, bisa aja saat dia jatuh cinta sama kamu, dia lupa sama aku." Nana menggigit bibir bawahnya, menahan air mata akan kembali mengalir dari pelupuk matanya.
"Tapi aku gak masalah, dia berhak bahagia, bersama pilihannya."
Dimas merasa sesak dengan apa yang Nana ucapkan, seolah tak terima gadis itu mengatakan hal demikian. Ada rasa kecewa dan tak rela yang dia rasakan.
"Kalo lo butuh temen, kamu bisa datang ke gue, gue gak keberatan jadi buku dairy lo. Gue juga gak keberatan jadi tisu, selama itu bisa membuat gue berarti dalam hidup lo." Dimas bangkit dan segera pergi dari kamar Nana. Pikirannya begitu kacau, setelah mendengar semua ucapan Nana.
Tak jauh dari kamar Nana, Zico yang Rere mematung. Mereka berdua sempat menguping pembicaraan Dimas dan Nana. Sama seperti Dimas, mereka berdua pun sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Zico kembali marah kepada dirinya sendiri, karena di saat Nana terpuruk justru orang lain yang menjadi tempatnya bercerita, Zico tidak keberatan jika orang itu Rere, atau pun teman gadisnya yang lain. Namun nyatanya, orang itu justru Dimas—sahabatnya, orang yang mengetahui segala rahasia yang dirinya miliki.
"Kak Zii, aku mau ke kamarnya Nana dulu." Zico mengangguk dan mempersilahkan Rere pergi ke kamar adiknya.
Rere mengetuk pintu ragu, takut jika kehadirannya mengganggu Nana. Namun, di luar dugaannya, kini Nana sedang sibuk dengan laptopnya dan beberapa cemilan.
"Tumben ngetuk pintu, kalo mau masuk, masuk aja."
Rere mengangguk dan segera menghampiri Nana. "Na, hari ini aku mau pulang. Anu, tadi aku di telpon katanya besok mamah mau pulang ke Indonesia, jadi besok aku mau jemput mamah ke bandara."
Nana bangkit dari tempat tidurnya. "Mau aku anter?"
Rere menggeleng kuat, "Gak usah, Na. Kamu pasti capek, aku bisa sendiri kok. Aku pamit ya," ucap Rere.
Nana hanya mengangguk dan membantu Rere berkemas, setelah selesai Rere segera pergi rumah Nana.
Nana hanya melihat mobil yang membawa Rere pergi kini semakin menjauh. Lagi-lagi, dirinya ditinggalkan.
Nana segera berbalik, berjalan malas menuju kamarnya. Layar ponselnya menyala menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Gadis itu segera menggeser layar ponselnya dan sebuah pesan muncul.
[Ayok nangis lagi, air mata kamu bisa bikin banyak orang kasian loh.]
Nana melempar asal ponselnya, pesan itu di kirim dua puluh menit yang lalu, artinya sebelum Rere pergi.
"Bukan Rere, jadi siapa?" Nana berfikir keras untuk mengetahui siapa pemilik nomor tersebut. Orang yang tahu dirinya menangis pasti orang yang berada di rumahnya.
Ting!
Sebuah pesan kembali masuk.
[Cie makin banyak yang peduli, mau saingan sama aku? Tenang aja, kamu pasti menang kok, ayok semangat ngerebutnya.]
Baru saja Nana akan mengetik, sebuah pesan kembali masuk.
[Dimas ya? Aku gak tertarik sih, tapi aku gak suka aja liat kamu bahagia.]
Mood Nana untuk membalas pesan dari nomor itu tiba-tiba saja hilang. Lenyap hanya karena sebuah kata yang kembali dia baca.
Nana menjatuhkan tubuhnya ke kasur, mencari posisi ternyaman lalu membuka ponselnya, menggeser layarnya hingga menemukan sebuah aplikasi berwarna putih dengan sebuah segitiga bermata di dalamnya. Di bawah aplikasi tersebut tertulis nama 'pou' sebuah aplikasi yang selalu berhasil membuat moodnya kembali naik.
Nana membuka aplikasi tersebut dan mendapati sebuah makhluk peliharaannya jatuh sakit, dengan gesit Nana menggeser ponselnya mencari tempat obat dan segera dia berikan agar peliharaan kembali sehat, setelah itu dia mulai memandikan dan memberinya makan.
Gadis itu menguap, setelah puas bermain di aplikasi tersebut, matanya bergerilya mencari sebuah charger untuk mengisi daya ponselnya yang melemah. Melihat chargernya yang tergeletak cukup jauh dari tempatnya berada membuat Nana mendengkus kesal. Diraihnya kabel USB yang berada tak jauh dari tempatnya berada dan segera memasangkannya pada laptop serta ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak, Aku Kecewa (Tamat)
Teen FictionDilahirkan menjadi anak yang dibenci oleh keluarga, bukanlah keinginan seorang Kanara Cintya. Bahkan, dipertemukan dengan sosok laki-laki seperti Arcio Handershon pun bukan keinginannya, tetapi semua itu takdir. Takdir yang menjadikan Nana dibenci o...