part 9

219 22 2
                                    

"Gue cuman cinta sama lo! Apa itu salah?"

Zico menatap hina wanita di hadapannya, semua orang tahu siapa dirinya dan siapa wanita di hadapannya, begitu pun dengan hubungan mereka.

"Lo adik tiri gue, Shiren. Bisa lo buang jauh-jauh rasa lo itu? Karena sampai kapan pun gue gak mungkin bisa nerima lo."

"Gue gak peduli, apa perlu gue bunuh bokap lo supaya di antara kita gak ada hubungan keluarga?"

Plak!

"Tutup mulut kotor lo, Shiren! Mending lo pergi sebelum Nana datang." Zico memalingkan wajahnya, janjinya untuk tidak berlaku kasar kepada wanita kini dia ingkari.

"Gue mau nunggu Nana, supaya cewek gila itu tau, kelakuan bejad kakak yang dia bangga-banggain selama ini."

Dimas menahan tangan Zico yang kembali menampar Shiren. Laki-laki itu berusaha menenangkan Zico dan menyuruh Shiren pulang. Beruntungnya, kali ini Shiren menurut dan segera pergi dari rumah Zico.

"Zii, Nana bisa marah kalo tau lo kasar sama Shiren. Semarah apapun Nana, dia pasti gak akan terima kalo abangnya berlaku kasar, karena Shiren itu cewek."

Zico menatap Dimas, semua yang laki-laki itu katakan ada benarnya. "Nana udah pulang?"

Dimas menggeleng, membuat Zico menghela nafas lega. Selama Nana belum tahu semuanya, maka semuanya masih aman.

"Lo gak ada niat buat kasih tau Nana?"

"Lo mau gue matiin?!"

***

"Na, nanti kamu yang ngomong ke Kak Zico, ya."

Nana berdehem singkat. Saat ini, dirinya dan Rere sudah berada di rumahnya. Namun, saat sampai, rumahnya menjadi sepi tidak ada siapapun, kecuali para pekerja di rumahnya.

"Na, aku mau nginep di sini boleh?" Rere bertanya sembari menatap kagum ke setiap penjuru rumah yang ditempati oleh Nana.

"Tinggal aja, kalo lo betah, tapi. lo tinggal di samping kamar Bang Zii," ucap Nana saat mengingat jika kamar yang di samping kamarnya sudah ditempati oleh Dimas dari satu Minggu yang lalu.

"Aku tinggal di kamar kamu aja."

Nana mengangguk setuju, dengan begitu dirinya bisa terus bersama dengan Rere, seperti dulu.

"Kenapa lo mau tinggal di rumah gue?"
Rere tersenyum kikuk. "Gue mau PDKT sama abang lo." Rere tertawa setelah mengucapkan kalimat itu.

"Lo gak jago bohong, ada apa, Re?"

"Gue dijodohin sa—"

"Hah? Lo di jodohin sama siapa?"

"Gak tau, cowoknya kabur sebelum kita ketemu." Wajah Rere berubah murung. "Padahal itu cowok lumayan ganteng, gue bahkan udah koleksi banyak potonya."

"Mana coba gue liat."

Rere mengambil ponselnya, tangannya terulur menunjukan sebuah poto pada Nana.

Nana membulatkan matanya, jelas Nana mengetahui siapa poto di layar ponsel milik Rere.

"Ikut gue." Nana menarik paksa tubuh Rere, dan segera membawanya pergi. Dengan cepat Nana melakukan mobilnya ke arah kantor Zico.

"Na, kita mau ke mana?" Rere bertanya panik.

"Diem, gue mau bawa lo ketemu sama calon suami lo, itu."

"Maksud kamu, Dimas?"

Nana mengangguk mantap, dirinya tidak mungkin salah lihat, laki-laki dengan lesung di sebelah pipi kirinya adalah Dimas. Laki-laki yang sudah satu Minggu ini tinggal di rumahnya.

Begitu sampai di kantor Zico, Nana kembali menarik Rere. Namun, langkahnya terhenti karena Chika—sekertaris Zico, menghalangi jalannya.

"Maaf, tuan Zico sedang ada tamu, silahkan tunggu dulu." Chika berucap pelan.

"Gak papa, aku cuman mau ketemu sama Dimas. Dia ada?"

Chika mengangguk.

"Bisa tolong panggilin."

Rere menahan tangan Chika, membuat wanita itu menghentikan langkahnya.

"Gak usah, biar kami cari sendiri." Rere berucap lembut, yang langsung diangguki oleh Chika, setelahnya, gadis itu pamit undur diri.

Wajah Rere berubah muram. "Kita pulang aja."

Kini, Rere yang menarik tangan Nana. Mengabaikan gadis itu yang terus saja bertanya, akan sikap Rere yang tiba-tiba saja berubah.

"Kamu kenapa, Re?"

Menghentikan langkahnya di depan mobil. "Aku laper, Na," ucap Rere cengengesan. Tangannya mengusap perutnya yang datar seolah meyakinkan bahwa dirinya memang sedang membutuhkan makanan.

"Yakin?"

Rere mengangguk mantap. Membuat Nana menghela nafas kesal. Bukan karena Rere yang mengajaknya pulang, tetapi karena gadis itu menyimpan sesuatu yang tidak dirinya ketahui.

"Lain kali cerita, Re. Gue gak tau kalo lo gak cerita." Rere memainkan jemarinya.

"Cewek tadi, mantannya Dimas. Mereka putus karena Dimas dijodohin sama aku."

Nana menatap Rere prihatin, sejak kecil Rere tinggalkan oleh orang tuanya yang berada di luar negeri, selama di Indonesia gadis itu selalu tinggal bersama neneknya yang penuh dengan aturan. Karena itulah, gadis itu selalu memilih tinggal seorang diri.

"Gak perlu sedih, kalo lo mau nikah sama gue aja. Gue gak keberatan jadi suami lo," ucap Nana dengan wajah datar, membuat Rere menatapnya horor.

Dalam hidupnya, Rere tak pernah membayangkan akan dilamar oleh Nana, terlebih lagi di situasi seperti ini.

"Gue becanda, lo gak perlu panik." Nana mendekati Rere, yang kini justru menjauhinya.

"Maksud gue, kalo lo mau nikah, sama Bang Zii aja, gue gak keberatan jadi adik ipar, Lo." Nana meralat ucapannya.

Rere masih menjaga jaga jaraknya dengan Nana. "O-oke," ucap Rere ragu.

"Ada apa?"

Nana menoleh ke sumber suara begitu pun Rere. Tubuh wanita menegang saat melihat Dimas. Laki-laki yang baru saja menghampiri mereka, tak lupa di belakangnya ada Zico.

"Bang Zii, besok lusa bisa nemenin Rere pergi ke acara nikahan temennya?" Nana berjalan menghampiri Zico, mengabaikan pertanyaan Dimas. Entah mengapa, saat ini Nana begitu kesal dengan Dimas seolah ingin mencakar wajah laki-laki itu.

Zico menatap Rere sebentar, wanita itu menunduk sembari memainkan jemari tangannya. "Oke."

Senyum Nana mengembang, begitu pun dengan Rere. Perasaannya sedikit membaik karena Zico mau menemaninya pergi.

Nana menoleh, matanya mendelik ke arah Dimas. "Lo, anterin sahabat gue ke kostannya, dia mau pindah ke rumah gue!" ucap Nana ketus sembari melempar kunci mobilnya, lalu menatap Zico dan mengajaknya pulang.

Kini hanya tersisa Rere dan Dimas. Mereka masih saling diam, hingga akhirnya, Dimas memilih menghampiri Rere dan membuka pintu mobil agar Rere segera masuk.

Lima belas menit perjalanan mereka lalui dengan saling diam, tak ada kata apapun yang keluar dari bibir keduanya.

Drrrtt!

Rere memeriksa ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi SMS muncul di layar ponselnya. Gadis itu mendengkus kesal karena pesan yang baru saja dia terima adalah pesan dari operator yang mengatakan bahwa kuotanya telah habis.

Rere melirik Dimas melalui ekor matanya. "Mas, emm, maksud aku, Dimas."

Dimas menoleh, sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya 'apa?'.

"Nanti mampir dulu ke konter ya, aku mau beli pulsa."

Laki-laki itu mengangguk singkat, sebuah senyum terbit di bibirnya, membuat Rere mengernyitkan dahi. Entah apa, yang sedang laki-laki itu pikirkan.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang