"Na, semalam aku telpon Kak Zico, nanya kalo Shiren udah punya pacar atau belum, tapi Kak Zico malah ngatain aku bego cuman gara-gara aku ngangguk doang." Rere memulai sesi curhatnya.
"Ngangguk?" tanya Nana yang tak paham.
Rere mengangguk dua kali. "Kak Zico nanya, terus aku ngangguk, eh dia marah sambil bilang 'gue mana tau lo ngangguk' padahal aku udah kasih tau Kak Zico kalo aku udah ngangguk sebagai jawaban pertanyaannya."
"Bego," cibir Nana, yang tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya. Namun, sebego-begonya Rere, Nana tak pernah memiliki niat untuk menukar sahabatnya itu, ataupun menjualnya ke tempat loak, karena baginya menemukan sahabat seperti Rere tak mudah.
"Dari pada bego, mending kita pergi buat kepoin si Shiren."
Rere mengangguk, dan segera pergi menuju rumah Shiren. Sebelum ke rumah Shiren, mereka berdua menyempatkan diri menuju pemakaman Cio, tentunya itu atas keinginan Nana.
Nana tersenyum senang, saat melihat makam Cio yang terawat, bukan hanya itu bahkan di hari ini, dirinya menjadi orang pertama yang mengunjungi makam Cio.
"Yess, akhirnya gue jadi orang pertama."
Nana segera mendudukkan dirinya di atas tanah, mengusap lembut papan bertuliskan nama Cio dengan lembut.
"Cio, doain aku ya, semoga pelaku peneror itu cepet ditemukan, Nana juga selalu ngedoain kamu, semoga aku bisa cepet ketemu sama Cio."
Rere hanya menyimak, membiarkan Nana yang sibuk bermonolog.
"Oh, ya, bulan depan aku ulang tahun. Aku berharap kita bisa ketemu, meski cuman di dalam mimpi, seperti tahun-tahun sebelumnya."
"Na, bukannya ulang tahun kamu dua Minggu lagi?"
Nana nyengir kuda, "Iya, tapikan emang bulan depan."
"Na, ayok. Sebelum Shiren keburu pergi."
Nana mengangguk, dia bangkit dan segera mengikuti langkah Rere.
Saat ini, mereka berdua sedang berada di dalam mobil yang sengaja mereka parkir tak jauh dari rumah Shiren. Lama mereka menunggu, akhirnya Shiren keluar dari rumahnya, dan segera mengendari motornya meninggalkan tempat tinggalnya.
Tanpa aba-aba, Rere segera mengikuti Shiren, beruntungnya Shiren mengendarai motornya tidak begitu cepat, membuatnya dengan mudah mengikuti jejak gadis itu.
Shiren mengehentikan motornya di sebuah cafe. Diikuti oleh Rere yang memarkirkan mobilnya tak jauh dari motor Shiren.
"Gue tunggu lo di dalem."
"Eh ... kok lo tau, kalo kita mau nemuin lo?" tanya Nana cengo.
"Cuman orang bego yang gak sadar kalo dia ikutin."
Shiren memasuki cafe diikuti oleh Nana dan Rere. Gadis itu sengaja memilih tempat duduk di pojok. Agar tidak banyak orang yang menjadikannya pusat perhatian.
"Apa yang mau lo tau tentang gue, yang pasti gue bukan pelaku peneror lo," ucap Shiren memulai sesi tanya jawabnya.
"Kita belum ngomong tentang teror, tapi lo udah ngomong gitu duluan." Rere menunjuk Shiren dengan telunjuknya, tak lupa dia juga memberikan tatapan tajam ke arah Shiren.
"Re, lo lupa kalo keempat jari lo yang lain, nunjuk diri lo sendiri ...." Shiren mengangkat tangannya, telunjuk yang Rere gunakan untuk menunjuk dirinya, dia lipat, membuat tangan Rere kini menjadi mengepal. "... dan sekarang, kelima jari lo, nunjuk diri lo sendiri."
Rere menurunkan tangannya.
"Kamu tau siapa pelakunya?" Nana bertanya lembut.
"Tau, tapi gue gak mau ngasih tau lo. Gue justru pengen ajak dia kerjasama buat nyakitin lo."
Nana memutar bola matanya malas. "Gue boleh minta clue tentang pelakunya, sebagai imbalannya gue kasih lo kesempatan buat nyakitin gue."
"Gak butuh! Tapi, kalo lo butuh clue, gue kasih dengan senang hati."
Nana dan Rere menatap Shiren intens.
"Orang itu, adalah orang yang memahami arti angka 1403."
"1403?"
Shiren mengangguk mantap.
"Tanggal lahir gue?" Nana kembali bertanya, membuat Shiren tertawa puas.
"Iya."
"Maksud lo, pelakunya gue?"
"Menurut lo?"
Nana menggeleng, dia mencoba memahami maksud Shiren. "Di sini, yang paling paham tentang arti angka itu, kamu. Itu artinya kamu pelakunya?" Rere memberikan opininya yang dibalas anggukan oleh Nana.
"Emangnya kamu gak paham, Re? Sahabat macam apa yang gak tahu tanggal ulang tahun Sahabatnya sendiri?"
"Kamu bilang, di angka itu, ada maksud lain, dan yang tau cuman kamu."
Shiren menatap Nana. "Na, gue masih punya banyak urusan, dan gue rasa perlakuan gue cukup baik buat lo. Satu lagi, gue yakin lo paham maksud gue." Shiren bangkit dan segera pergi meninggalkan Nana dan Rere yang masih tak paham dengan ucapannya.
"Na, gue laper. Kita pesen makanan ya," ucap Rere sembari tersenyum kikuk. Sedari tadi, gadis itu menahan rasa lapar yang hadir dalam perutnya.
"Pesen aja."
Rere dengan semangat memanggil pelayan, dan memesan beberapa makanan, sedangkan Nana hanya diam saja, lagipula Rere sudah menyebutkan makanan yang dirinya sukai.
Nana menatap Rere singkat, dia melebarkan senyumnya, Nana benar-benar merasa menjadi wanita yang beruntung karena memiliki sahabat seperti Rere yang selalu menemaninya di saat apapun.
"Hari ini, aku traktir."
Rere membulatkan matanya, "Makasih Kanara Cintya," ucapnya sembari memeluk Nana. Tak lama kemudian pesanannya datang, membuat Rere sontak melepas pelukannya dan segera melahap pesanan makanannya.
***
"Gue mau ngajak lo kerjasama."
Shiren menatap gadis di hadapannya. Malam ini, gadis itu sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dengannya hanya untuk mengajak dia bekerjasama.
"Kalo gue gak mau?"
"Lo yakin gak mau? Gue punya bukti bahwa lo pelakunya?"
"Oke, deal. Apa yang harus gue lakuin?"
Shiren menatap gadis itu santai. Tangannya meraih sebuah amplop yang dia simpan di saku celananya.
"Lo simpen surat itu di kamar Nana. Gunakan kelicikan lo buat nyimpennya. Karena gue gak tanggung jawab kalo lo ketauan."
Gadis itu mengangguk, "Gue pastiin secepatnya Nana akan menerima surat ini."
"Gak perlu secepatnya, kalo bisa Nana baca surat itu, satu hari sebelum ulang tahunnya. Itu artinya, lo punya banyak waktu buat nyimpennya."
Gadis itu memasukkan amplop merah itu ke dalam sakunya. "Oke. Gue boleh minta tolong juga sama lo?"
"Apa?"
"Gue butuh seseorang, dan Lo bisa cari orang itu, ciri-cirinya. Nanti akan gue kasih tau, tapi gak sekarang, gue harus pergi."
Shiren mengacungkan jempolnya sebagai jawaban. Gadis yang menjadi lawan bicaranya tersenyum. Setelah merapikan jaketnya, gadis itu pergi meninggalkan Shiren.
Ditatapnya amplop berwarna merah yang Shiren berikan. Rasa ingin tahunya tiba-tiba saja muncul. Namun, dia tak ingin mengambil resiko identitasnya terbongkar, sedangkan Shiren. Dia hanya sibuk menatap punggung gadis itu yang mulai menjauh.
"Satu-satunya cara nyakitin Nana adalah membuat dia kecewa dan kehilangan, tapi buat bikin dia kecewa gak gampang, jadi gue harus main cantik, kek gini contohnya."
Ting!
Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
[Gue butuh orang yang kayak Cio.]
Shiren memasukkan ponselnya. Dia berjalan ke arah motornya dan mulai melajukannya motornya. Mencari orang seperti Cio adalah hal yang mudah baginya.
"Gue pastiin, lo akan mendapatkan apa yang lo mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak, Aku Kecewa (Tamat)
Teen FictionDilahirkan menjadi anak yang dibenci oleh keluarga, bukanlah keinginan seorang Kanara Cintya. Bahkan, dipertemukan dengan sosok laki-laki seperti Arcio Handershon pun bukan keinginannya, tetapi semua itu takdir. Takdir yang menjadikan Nana dibenci o...