Sampai di dalam restoran, Ayesha langsung memesankan beberapa makanan karena Shinta mengatakan dia bisa memakan apapun.
Shinta menggigit bibir dalamnya gugup. Dirinya ingin segera mendapat penjelasan, kenapa seorang Haidan memintanya untuk dijadikan sebagai seorang istri.
Shinta mengambil nafas panjang sebelum akhirnya menatap Haidan yang sekarang menunduk, lagi.
Sedangkan Ayesha berada di meja lain, membiarkan keduanya untuk berbicara tanpa sungkan.
"Mas Haidan beneran dateng ngelamar aku?"
"Iya."
"Kenapa? Padahal kan kita gak saling kenal? Mas cuma tau kalau aku temen dari sepupunya Mas Haidan. Kita juga pernah interaksi cuma sekali, waktu gak sengaja ketemu di jalan gara-gara kucing."
Shinta menatap Haidan dengan ekspresi bertanya. Biarlah dirinya dicap sebagai perempuan yang banyak bicara. Yang penting semua tanda tanya di kepalanya hilang.
"Saya suka kamu."
Shinta tambah dahinya bingung, "Hah? Cuma itu?"
"Apalagi?"
"Maksud aku, kenapa segampang itu? Padahal kita gak deket? Kenapa Mas Haidan bilang kalau suka? Apa yang buat Mas suka sama aku? Aku gak bisa apa-apa, Mas. Aku gak bisa masak, cuci baju, nyetrika, bahkan tugas sepele kaya nyapu dan ngepel aja aku jarang lakuin. Aku juga labil, kekanakan, ceroboh, pecicilan. Pokoknya, semua sifat jelek ada di aku. Mau diliat dari visual pun, Mas gak pernah mandangin aku. Aku malah curiga ternyata Mas sebenernya gak tau muka aku kaya apa," kata Shinta sambil meremas tangannya yang dingin.
"Gak ada yang bisa dibanggain dari diri aku. Aku di mata Mas Haidan sekarang mungkin keliatanya kaya kalem, anggun, feminim, dan sejenisnya. Tapi sekarang aku cuma lagi malu sama Mas. Dan yang lebih penting," Shinta menundukkan kepalanya, sangat berat untuk mengucapkan kata ini dari mulutnya, "aku bukan orang yang pantes disandingin sama laki-laki baik kaya Mas. Aku bahkan belum berhijab, hal dasar yang mungkin ada di tipe istri ideal Mas Haidan."
Biarlah Haidan bebas berpikir apapun tentang dirinya sekarang. Walaupun Shinta yakin kemungkinan besar pria itu akan ilfeel kepadanya.
Sekarang Haidan tahu akan semua sifat jeleknya. Urusan mau dilanjut atau tidak, itu belakangan. Yang penting sekarang dirinya sudah jujur, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.
"Shinta."
Badan Shinta menegang, karna untuk pertama kalinya Haidan memanggil namanya.
"Saya menikahi kamu bukan untuk dijadikan sebagai asisten rumah tangga. Saya menikahi kamu karna saya menyukai kamu, dan saya yakin kamu bisa jadi istri yang baik untuk saya. Sejak interaksi pertama kali kita, saya sudah menyukai kamu. Saya takut rasa suka saya ke kamu hingga tanpa sadar memikirkan kamu, buat Allah murka, karna kamu bukan mahram bagi saya. Untuk hijab, selagi kamu mau dibimbing, InsyaaAllah saya akan bimbing kamu. Saya pun, masih banyak salahnya dan harus belajar banyak lagi. Kita belajar sama-sama setelah sah nanti, itu juga kalau kamu mau menikah dengan saya."
Shinta menggigit bibirnya kuat, menahan tangisan yang mungkin akan keluar jika matanya hanya dibiarkan berkedip sekali saja.
Ucapan Haidan membuat hatinya bergemuruh. Jantung Shinta memang biasanya akan berdetak kencang jika ada Haidan di sekitarnya, tapi saat ini berbeda. Rasanya senang dan terharu. Bersyukur luar biasa karna Allah membiarkan pria baik seperti Haidan, menyukainya. Bahkan ingin menikahinya. Namun di sisi lain ada perasaan menyesakkan, merasa tidak pantas besanding dengan pria di depannya ini. Tapi ini adalah hal yang selalu Shinta minta di setiap doanya, Shinta tidak bisa menolaknya begitu saja.
"Mas Haidan yakin? Aku gak mau nanti setelah menikah, Mas nyesel."
Haidan tersenyum tipis, "In Syaa Allah, saya yakin."
-Suami Terbalik-
Besok malamnya, rumah Shinta kedatangan banyak tamu.
Karena sudah dari kedua belah pihak sudah setuju untuk menikah, Haidan datang ke dua kalinya untuk melamar bersama keluarga besarnya setelah sebelumnya hanya seorang diri.
"Jadi, kapan akadnya akan dilaksanakan?" tanya seorang pria paruh baya yang Shinta ketahui sebagai paman dari Haidan.
"Kalau dari pihak prianya, bagaimana?"
"Kalau kami kapan saja siap, besok juga kami siap."
Semua orang yang mengisi ruang tengah rumah Haris tertawa renyah, berbeda dengan tawa Shinta yang terpaksa.
Shinta tidak bisa tertawa, karna lebih merasa ucapan tersebut malah membuat dirinya yang sejak tadi gugup bertambah gugup.
"Kami juga siap kalau besok akadnya."
Mata Shinta seketika membola mendengar ucapan maminya barusan. Apa-apaan? Shinta yang tidak siap kalau begitu caranya!
"Mi," panggil Shinta memperingatkan.
Maminya tertawa, "Becanda, Sayang."
"Kalau Haidan sendiri mau bulan apa?"
Shinta menengok, menatap papinya yang sekarang menatap Haidan sambil tersenyum.
Membicarakan tentang papinya, Shinta jadi penasaran dengan apa yang Haidan ucapkan untuk meyakinkan Haris saat melamarnya. Hingga orang keras kepala sepertinya bisa menerima semudah itu bahkan terlihat sangat bahagia melebihi Shinta sendiri.
"Saya siap kapan aja, Pak."
Haris tersenyum lebih lebar, lalu matanya beralih menatap Shinta, "Kalau kamu?"
Shinta mengedipkan matanya berulang kali, "Aku ngikut aja."
"Berarti besok mau, ya?"
Shinta memelototkan matanya, tidak seperti itu juga konsepnya!
"Kan katanya ngikut aja?"
"Tapi gak secepet itu juga, Pi," kata Shinta dengan suara yang tertahan karna malu.
Lagi-lagi ruang tengah rumah Keluarga Haris, ramai dengan suara gelak tawa. Merasa lucu sendiri melihat ekspresi panik dan malu Shinta.
"Papi becanda."
Shinta rasanya ingin menangis saja.
Note:
Jaga kesehatan terus ❣️
2021/02/13
Oumjang
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Terbaik
SpiritualShinta dibuat bimbang luar biasa saat maminya mengatakan jika pria yang selama ini disukainya tiba-tiba datang melamar. Shinta senang tentu, tapi di sisi lain, dirinya juga belum siap jika harus langsung dijadikan seorang istri. Dilihat dari manapun...