Dua minggu setelahnya, Haidan dan Shinta memutuskan untuk pindah ke perumahan yang sudah Haidan siapkan sebelum menikah.
Karna baru pindahan kemarin, sepasang suami-istri itu sudah sibuk beberes sejak pagi.
Keduanya saat ini duduk selesehan di lantai, sama-sama menyandarkan punggung mereka pada tembok untuk berisitirahat sebentar.
Haidan tersenyum, menatap Shinta yang duduk di sampingnya. "Capek, ya?" tanyanya sambil menyerka dahi istrinya yang berkeringat menggunakan ibu jari.
Sejak resmi menyandang status sebagai pasangan suami istri, cara Haidan memperlakukan Shinta berubah seratus delapan puluh derajat. Haidan yang dulu bahkan tidak pernah sekalipun menatap dan mengajaknya berbicara terlebih dahulu, berubah menjadi sosok yang sangat manis, penyayang, dan begitu perhatian kepadanya.
Haidan juga sangat suka melakukan skinship kecil. Entah itu menggandeng tangan, memeluk, mengelus rambut, atau lainnya seperti sekarang.
"Iya, capek banget."
Haidan berdiri, membuat Shinta menyergitkan dahinya karna bingung dengan pergerakannya yang tiba-tiba. Ketika mulai melangkahkan kaki, Shinta menahan tangannya.
"Mas mau ke mana?" tanyanya sambil mendongak.
"Ke dapur."
"Ngapain?"
"Ngambil minum buat kamu."
Shinta membuka matanya lebar, "Gak usah, Mas! Aku bisa ngambil sendiri!"
"Kamu kan lagi capek."
"Mas juga lagi capek!"
Haidan tersenyum, "Mas gak capek," ucapnya lembut.
Hal lain yang Shinta tahu tentang Haidan selama seminggu hidup bersama adalah suaminya itu sangat lembut.
Shinta menghela napasnya, sadar sedari tadi menaikkan intonsi suara. Lihat, bahkan sudah diperlakukan seperti itu olehnya pun Haidan masih membalasnya dengan lembut. Jika Shinta berada di posisinya, mungkin sejak tadi dirinya juga sudah ikut menaikkan intonasi suara karna kesal.
"Gak capek apanya? Mas kan yang tadi kerja paling banyak. Berat-berat, lagi. Udah, aku aja yang ambil."
Saat Shinta ingin berdiri, Haidan menahannya.
"Shinta, gapapa. Mas juga udah terlanjur berdiri."
"Tapi Mas-"
"Gapapa, Soleha."
Shinta merengut kesal, walaupun tak ayal pipinya bersemu karna panggilan Haidan kepadanya barusan.
"Lucunya istri mas." Haidan kembali tersenyum, mengelus rambut istrinya gemas.
"Mass." Inginya Shinta marah karna kesal Haidan selalu merepotkan diri sendiri untuk memanjakan dirinya, tapi tidak tega. "Lagi-lagi, biar aku aja, ya?
"Iya."
Setelah mengatakan itu, Haidan melanjutkan jalannya ke dapur. Lalu kembali dengan membawa satu gelas air berukuran sedang dan duduk di sebelah Shinta.
"Makasih, Mas." Shinta tersenyum sambil mengambil gelas tersebut.
"Sama-sama."
"Mas gak minum?"
"Itu aja barengan."
Shinta langsung berhenti menegak minumnya. Hampir saja habis semua olehnya. "Siang ini mau makan apa?" tanyanya sambil menyerahkan minum.
"Kalau mas lagi kepengen makan Tongseng, tapi terserah kamu. Kalau kamu mau makan yang lain, mas ikut."
"Engga kok, aku juga mau." Shinta tersenyum canggung, "tapi aku gak bisa buatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Terbaik
SpiritualShinta dibuat bimbang luar biasa saat maminya mengatakan jika pria yang selama ini disukainya tiba-tiba datang melamar. Shinta senang tentu, tapi di sisi lain, dirinya juga belum siap jika harus langsung dijadikan seorang istri. Dilihat dari manapun...