04. Alasan pt.2

411 76 11
                                    

"LO SUMPAH SEBULAN LAGI NIKAH?!"

Saat ini Shinta berada di rumah Jihan. Bersama dengan dua temannya lagi, Susi dan Elsa. Seperti ucapannya kemarin, Shinta dan teman-temannya memang tidak suka berkumpul di luar seperti kafe, ruko, atau restoran, lebih memilih rumah mereka sendiri.

Shinta hanya mengangguk sebagai respon dari pertanyaan Elsa.

"Lo kok tenang banget sih, Shin?!" tanya Elsa benar-benar tidak habis pikir, "terus juga kenapa lo semua pada diem? Apa di sini yang aneh, gue?" tanyanya lagi.

Susi mengangkat bahunya acuh, "Ya mau gimana lagi? Orang udah ditetapin. Lagian juga Shinta kan bukan tipe orang yang nganggep semua orang baik kaya Jihan? Jadi gue percaya."

Jihan yang sedari tadi diam saja sambil memakan ciki karena sudah tahu ceritanya, langsung mengerutkan dahinya kesal. "Kok, gue?"

"Ya emang lo gitu, kan? Semua orang dianggep baik? Bodoh banget."

"Mau berantem?"

"Shut! Kenapa jadi lo berdua yang ribut? Gue yang lagi protes!" sewot Elsa, kemudian matanya beralih menatap Shinta yang hanya diam menatap pertengkaran mereka bertiga, "jawab!"

"Apa?"

Elsa berdecak, "Lo kenapa langsung mau aja diajak nikah sama dia? Terus kenapa juga nikahnya cepet banget? Sebulan lagi, lho! Sedangkan kalian deket aja engga!"

"Gue emang gak deket sama Mas Haidan, tapi gue yakin dia bisa jadi imam yang baik buat gue."

"Sayakin itu? Dari mana lo tau?"

"Siapa laki-laki di sekitar gue yang sifatnya kaya Mas Haidan? Laki-laki pertama yang nyatain rasa sukanya dengan ngajak gue nikah? Jangankan ngerusak, Mas Haidan bahkan gak berani natap mata gue. Ketemuan kemaren juga Mas Haidan bawa adeknya. Gue yakin banget Mas Haidan kaya gitu gara-gara gak mau berduan sama gue di mobil. Padahal kan kebanyakan laki-laki di luaran sana biasa aja berduaan sama lawan jenis, apalagi kalau masih single. Mas Haidan juga masih single, lho, tapi dia engga kaya gitu. Lo bisa bayangin Mas Haidan nanti kalau nikah, kan? Gimana baiknya dia ngejaga hubungan pernikahan sama perasaan istrinya?"

Elsa terdiam.

"Gue emang bukan orang baik, Sa. Tapi gue selalu berdoa suami gue nanti lebih baik dari gue. Gue selalu berdoa kalau bisa suami gue kaya Mas Haidan, yang tau agama karna gue buta banget tentang itu. Gini-gini gue juga mau masuk surga, gue gak mau kesiksa di neraka. Gue kira mimpi gue ketinggian, tapi ternyata Allah jawab doa gue. Lebih dari apa yang gue pengenin. Jadi apa alesan gue untuk nolak?"

Jihan, Susi, dan Elsa terpaku dengan ucapan panjang lebar Shinta. Tidak menyangka kalau ternyata seseorang seperti Shinta yang lebih banyak main-mainnya, bisa berbicara seserius ini.

Jihan tersenyum haru, kemudian memeluknya, "Gue dukung lo seribu persen, semangat! Orang kaya Mas Haidan itu udah mulai langka banget di muka bumi ini," katanya sambil menepuk punggung Shinta kuat, "kalau ketemu sama laki-laki yang kaya Mas Haidan lagi kenalin ke gue, ya? Soalnya di lingkungan gue gak ada."

"Tapi kan kita satu lingkungan? Rumah lo di depan rumah gue?"

"Dih, bodoh banget," ceplos Susi.

"Bener juga," Jihan melepas pelukannya dengan wajah lesu, "eh, tapi kan lo bentar lagi nikah, pasti banyak laki-laki baik kaya Mas Haidan nanti di sekitar lo. Jadi jangan lupa calling-calling," kata Jihan sambil menaik-turunkan alisnya.

Shinta menghela nafasnya berat, tidak mengerti dengan sahabatnya ini. Bisa-bisanya mencari kesempatan dalam kesempitan. Padahal menikah saja belum, sudah dititipi macam-macam.

Mata Shinta yang tadi menagap Jihan, beralih kepada Elsa yang diam saja dengan mata yang menatapnya juga.

"Jadi, apa yang mau lo tanyain lagi?"

Elsa menggeleng, "Gue udah dapetin semua jawabannya. Maaf, gue cuma khawatir sama lo. Apalagi ini tentang pernikahan, hal yang gak bisa digampangin gitu aja."

"Iya gue tau, gue juga kalau jadi lo pasti kaya gitu. Gue ngerti, makasih udah khawatirin gue."

Susi merentangkan tangan, dan menjatuhkan badannya begitu saja pada kasur empuk Jihan.

"Udah lama kita gak ngomongin hal sampe seserius ini, padahal biasanya gak ada benernya."

Elsa mendelik, "Itu mah lo aja, kali?"

"Iyain, Elsa. Urus aja tuh si Olaf."

"Gak nyambung, Bego."

"Mulai!" kata Jiana yang mencium-cium bau keributan.

"Lo juga sama aja, Kampret!" sungut Shinta.

"Lho kok, sewot?"

"Udah Kawan-kawan. Dari pada ribut, masih mending mintain Shinta pajak nikah."

Ucapan Susi itu langsung mendapatkan tatapan berbinar dari Jiana dan Elsa, sangat berbanding terbalik dengan Shinta yang memelototkan matanya tidak terima.

"Apa-apaan? Ada geh lo semua yang kasih gue kado!"

"Kalau itu beda urusan lagi, Shinta Elena! Kado mah nanti aja pas akad!"

Shinta berdecak, "Yaudah, gue traktir seblak sama Teh Jus!"

"Halah! Teh Jus sama seblak doang adek gue juga bisa beliin! Mahalan dikit! Kaya seblak tejus tambah Pilus Garuda, misalnya?"

"Deal!"

"ELSA GOBLOK!"

"Bagus Elsa, lo gue tambahin lagi pilusnya satu bungkus."

"Ah lo sana tuh, jangan deket-deket sama gue! Lo bukan temen gue," kesal Jihan sambil mendorong-dorong badan Elsa asal.

"Sialan!"

Shinta memutar matanya malas, "Emang pada maunya apa, sih? Udah ditraktir bukannya bersyukur malah gak tau diri."

Setelah meributkan makanan apa yang ingin ditraktir oleh Shinta, keempatnya langsung keluar untuk membeli. Memang bisa saja memesan lewat ojek online, tapi kata mereka yang masih meminta uang dari orang tua, beli sendiri ke penjualnya lebih hemat.






































Note:

HEHEHE UPDATE LAGII

Aku lagi suka-sukanya sama book ini. Jadi, idenya Alhamdulillah lancar terus. Pokoknya selagi bisa update, aku akan update. Jangan bosen-bosen, ya?

Tetep jaga kesehatan semuaaa ❣️

2021/02/15
Oumjang

Suami TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang