05. Masalah Ayesha.

427 77 17
                                    

"Jadi tugasnya adalah merangkum buku paket halaman tiga puluh dua. Minggu depan bapak periksa. Yang shalat begitu bel bunyi langsung ke masjid."

Iya, Haidan adalah salah satu pengajar atau guru di sekolah menengah atas islam terpadu, atau yang sering disebut dengan SMAIT. Sederajat dengan sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Mengajar pelajaran Sejarah Indonesia.

"Segitu saja, Assalamu'alaikum."

Hadian segera meninggalkan kelas begitu semua siswa menjawab salamnya.

Di jalan menuju ruang guru, seseorang memanggil namanya. Dari suaranya Haidan bisa tahu kalau itu adalah Hana, sepupu perempuannya yang juga mengajar di sekolah ini.

"Pak Haidan!" panggilnya sambil berlari kecil menyusul.

Haidan memelan, agar Hana bisa menyamai langkahnya. Ketika sudah di samping, Haidan menengok sebentar. "Ada apa?"

"Mas."

Haidan menyergitkan dahinya bingung mendengar sepupunya itu memanggilnya dengan tidak formal padahal mereka masih di area sekolah.

Belum saja protes, Hana melanjutkan kembali ucapannya. "Tau gak, sih? Katanya Bu Raya ketauan nangis di kamar mandi. Waktu denger Mas Haidan mau nikah." Hana mengatakannya berbisik, namun terdengar menggebu-gebu.

Sedari pagi, Hana gatal sekali ingin memberitahukan gosip ini kepada Haidan. Dirinya ingin mengetahui bagaimana tanggapannya, mengingat bukan rahasia lagi jika Raya sudah lama sekali menyukainya. Bahkan katanya, ia sampai merubah pakaian dan sikapnya demi Haidan. Sebenarnya Hana tidak heran, karena sepupunya ini memang tipe ideal suami idaman kaum hawa sekali. Termasuk untuknya sendiri.

Haidan diam, tidak menyangka ternyata kabar pernikahannya dapat membuat seseorang menangis. Tapi yang lebih menarik perhatiannya sekarang adalah, kenapa Raya bisa tahu tentang itu? Padahal Haidan sama sekali tidak membicarakan ataupun menyinggung tentang rencana pernikahannya kepada guru-guru di sekolah.

Saat ingin bertanya, Haidan dikejutkan dengan kedekatan jarak antara dirinya dengan Hana sekarang. Secara otomatis, kakinya langsung melangkah menjauh ke samping.

"Hana! Jangan deket-deket!"

Walaupun mereka sepupu, tapi tetap saja bukan mahram. Jadi baik dirinya atau Hana, harus menjaga batasan-batasan yang sudah ditetapkan oleh agama.

Hana tersenyum canggung, "Sorry, Mas. Aku takut kedengeran sama anak-anak."

Meskipun terlihat kesal, Haidan tetap membiarkan Hana untuk melanjutkan perkataannya. Tentu saja dengan jarak yang sudah lebih jauh.

"Jadi merut Mas, gimana? Mas bakal canggung gak kalau ketemu sama Bu Raya di kantor?"

Kalau tentang canggung, sedari dulu memang Haidan sudah 'canggung'. Bukan hanya kepada Raya, tapi juga kepada semua guru perempuan di sekolah ini. Mungkin Haidan hanya sedikit merasa bersalah karena secara tidak langsung menyebabkan seseorang menangis.

"Dari pada itu, mas lebih penasaran kenapa guru-guru tau kalau mas akan nikah? Sampai-sampai jadi bahan pembicaraan."

Hana melipat bibirnya ke dalam, kemudian tersenyum tidak enak. Ketahuan sudah.

"Maaf ya, Mas? Lagian aku jengah banget setiap hari denger guru-guru ngomongin tentang Mas. Emang bukan ngomongin hal yang buruk, sih. Tapi kan tetep aja, kaya gak ada kerjaan lain."

Haidan menghela napasnya. Padahal dirinya ingin diam-diam sampai siap menyebarkan undangan, tapi ternyata tidak bisa.

"Tapi tenang aja, Mas. Mereka cuma tau Mas Haidan mau nikah doang, kok. Gak tau siapa calonnya," timpal Hana.

Suami TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang