10. Kegiatan Sore Hari.

439 62 19
                                    

Setelah pertemuannya dengan Jihan, Shinta langsung pulang ke rumah. Di rumah tidak banyak yang dilakukannya, hanya membereskan barang-barang yang terlihat tidak rapih, dan bolak-balik membuka aplikasi media sosial di ponsel. Karna itu Shinta merasa bosan sekali.
Rencananya sekarang ia ingin mengganti lampu yang menurutnya tidak terlalu terang dengan lampu yang baru. Sekalian menunggu Haidan pulang kerja karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore hari.

Shinta mendongak menatap lampu yang ada di atasnya, kemudian menaiki meja yang sudah disiapkannya tadi. Di atas meja tersebut tersusun rapi balok yang awalnya adalah tempat untuk memajang foto, ditambah dengan beberapa bantal sofa yang digunakannya sebagai penambah tinggi meja supaya tangannya sampai ke lampu.

Jika dilihat, yang dilakukan Shinta memang berbahaya. Tapi karna merasa sudah berpengalaman, dia sangat percaya diri.

Bergumam Bismillah, perlahan Shinta mulai menaiki tumpukan tersebut. Perempuan itu terlihat berhati-hati sekali menyeimbangkan badannya takut-takut jika bantal yang dinaikinya bergoyang berlebihan lalu membuatnya jatuh.

Dan rasa percaya dirinya ternyata benar. Hanya sekitar kurang lebih satu menit, Shinta berhasil mengganti lampunya tanpa kendala.

Baru saja ingin turun, suara pintu terbuka disertakan salam membuatnya mengurungkan niat. Di sana, terlihat suaminya yang sedang menutup pintu rumah. Ketika berbalik dan bersitatap dengannya, matanya langsung membola terkejut.

"Astagfirullah!" Haidan berjalan cepat hampir berlari ke arahnya. Melepaskan asal kantong plastik putih yang sedari tadi digenggamnya. "Shinta, ngapain? Turun!"

Berbeda dengan Haidan yang panik, Shinta malah menunjukkan senyum tanpa dosa padanya. "Aku abis ganti lampu."

"Kenapa gak nungguin mas pulang? Ya Allah."

"Gapapa, Mas, tenang. Aku udah biasa kok."

Haidan menggeleng, "Udah turun dulu, biar mas tangkep."

Shinta membulatkan matanya. "Gak usah. Aku bisa turun sendiri."

"Turun, Sayang ...," pinta Haidan memelas. Matanya kembali terbuka lebar saat melihat bantal-bantal yang dinaiki istrinya tambah bergerak. "Itu bantalnya gerak-gerak! Udah kamu turun, biar mas tangkep dari sini!"

"Beneran? Aku berat lho, Mas."

"Engga berat. Ayo turun!"

Shinta berjongkok masih di atas bantal, kemudian melompat kepada Haidan yang sudah merentangkan tangannya siap menangkap. Dan berhasil, Shinta berada di pelukan Haidan.

Saat ini ia bisa merasakan detak jantung suaminya yang berdetak begitu cepat karena posisi mereka berpelukan. Seperti posisi menggendong dari depan.

"Kamu ya," kata Haidan dengan nada khawatir.

Shinta tersenyum, memeluk erat leher Haidan walaupun sedikit terhalang oleh tas ransel yang dikenakannya.

"Aku kan udah bilang gapapa, Mas. Aku udah biasa ganti lampu."

"Gapapa apanya? Itu tadi bantalnya gerak-gerak. Mas yang cuma liat aja takut, apalagi kamu yang naik di atasnya? Padahal di belakang ada tangga."

Shinta terkekeh, entah kenapa lucu sendiri dengan kepanikan suaminya. "Maaf Mas, aku gak tau."

Haidan menghela napasnya. "Lagi-lagi biar mas aja yang ganti. Jangan sendiri, apalagi kaya gini."

"Iya."

Haidan menurunkan Shinta dari gendongnya dengan hati-hati. Setelah turun, ia baru bisa melihat wajah istrinya yang tersenyum.

Haidan yang sedari tadi memasang ekspresi khawatir, akhirnya ikut tersenyum juga. "Seneng ya bikin mas panik?"

Suami TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang