"Lei itu, kalau kata orang bangsanya Ratu Elizabeth, she is stupid."
"Kamu ngomong apa sih, sampe bawa-bawa Ratu Elizabeth? Kayak Ratunya kenal Leira saja."
Dua perempuan yang tengah sibuk memecah tanaman induk hingga menjadi beberapa pot, tampak serius membahas perempuan lain yang menurut mereka sedikit aneh dan—bodoh.
"Lah, menurutku, Lei itu stupid, bodoh. Sampai usia 32 tahun saja, belum menikah dan menunjukkan hidupnya baik-baik saja. Kamu perhatikan deh, sejak dilabrak sama istrinya Mas Yongki, dia seperti menutup diri. Kalau aku, tahu calon suamiku ternyata beristri, ya aku cari laki-laki lain lah!"
Satu perempuan lain yang sibuk menyiapkan pot dan mengisinya dengan sekam dan campuran tanah, mulai mengernyitkan kening. "Kita ini lebih muda dari dia, tapi sudah ada anak. Sedang dia, masih sendiri saja dan betah numpang di rumah Pak Tino."
"Lah itu maksudku! Stupid, kan?" Perempuan yang sejak tadi berkoar penuh semangat membicarakan Alleira, merasa asumsinya semakin benar. "Belasan tahun numpang hidup di rumah bos kita, gak ada kemajuan dalam hidupnya. Minimal, menikah kek, atau berusaha punya rumah sendiri. Mungkin ..., dia itu sama seperti ibunya, ya? Suka menumpang hidup dan enggan untuk maju berdikari."
"Hush!" Teguran itu terdengar disertai lirikan tajam. "Mungkin emang jodoh dia masih jauh. Lagian, Pak Tino itu pamannya Lei. Ya sah-sah saja, kan, dia numpang hidup sama pamannya. Kita tahu sendiri, lah, kalau Leira itu dibuang ibunya sejak mendapatkan bapak baru. Dia gak dianggap, to, sama bapak barunya?"
"Bapak baru? Wong bapak lama aja dia gak punya," cibir perempuan yang sejak tadi lihai memecah aglonema jenis twingkle yang sedang naik daun akhir-akhir ini. "Coba tanya siapa bapaknya, dia gak pernah bisa jawab. Orang ibunya itu hamil dengan pria misterius, kok. Semua orang di kawasan tempat tinggalku sudah tahu. Makanya ibunya memilih kerja jadi babu di Jakarta, karena malu punya anak tanpa suami. Ndelalah, pas aku SMA, mereka tiba-tiba kembali ke sini dengan kondisi Lei dititipkan di rumah Paman Tino dan ibunya menikah dengan pria yang gak mau menerima Lei sebagai anak tirinya."
"Tragis ya, hidupnya Lei itu."
"Ya enggak juga, sih," sanggah si pemecah aglonema yang sudah lihai merawat jenis tanaman ini. "Tragis atau enggaknya hidup itu, tergantung kita yang atur dan jalanin. Kalau dikit-dikit ngalah sama takdir ya—siap saja digilas waktu dan kehidupan ini. Sudah kubilang kan tadi, kalau Lei itu bodoh. Andai dia berpikir bahwa usia itu lambat laun akan mengusai tubuh kita, harusnya dia mulai merencanakan hidupnya sejak dulu. Menikah, punya anak, berkeluarga dan mempersiapkan masa tua. Masa iya, sampai bungkuk akan terus nebeng sama Paman Tino?"
"Entahlah, aku gak pernah mikirin Leira juga, sih," jawab si rambut cepol yang tangannya sudah kotor dengan sekam dan media tanam. Ia mengambil tumbuhan pecahan baru yang harus ia tanam dalam polybag, sebelum masuk rak karantina hingga layak untuk dijual oleh keponakan bosnya yang sejak tadi mereka bicarakan.
"Aku tuh, bukannya ngajakin kamu ngomongin Lei. Cuma, ya kadang kasihan lihat dia. Perhatian banget, loh, aku sama Lei itu. Berapa kali dia gagal berhubungan dengan pria. Terakhir, kenal Mas Yongki yang sering banget datang ke sini atau mengundang Lei untuk ikut seminar dan penyuluhan pertanian tanaman hias. Kupikir, Leira akan bahagia dengan Mas Yongki yang sudah mapan sebagai penyuluh pertanian. Aku ya bahagia lihat Lei selalu semangat belajar dan mengembangkan usaha Pak Tino, yang akhirnya bikin kita makmur juga. Eh, kok ya tiba-tiba ada yang dateng ngamuk-ngamuk ke Leira. Ngaku istrinya Mas Yongki yang akan dicerai gara-gara Mas Yongki selingkuh sama Lei. Kalau aku jadi dia, aku akan cari pria lain secepatnya dan berbahagia."
"Ngomong-ngomong, Mas Yongki apa kabar, ya? Sudah hampir dua tahun, bukan, sejak kejadian itu? Salutnya aku sama Lei, dia gak nangis dan marah saat tahu ditipu sama Mas Yongki si mata keranjang itu. Aku lihat sendiri, pas Mas Yongki ke sini untuk minta maaf dan memohon supaya Lei nunggu dia jadi duda, Lei hanya tersenyum dan menggeleng. Dia santai banget ngomong minta putus dan batal tunangan. Padahal, Pak Tino sudha ngamuk-ngamuk dan hampir lapor polisi, tapi dicegah sama Leira."
"Itu makanya kubilang Lei itu lebih banyak bodohnya." Si pemecah tanaman kembali mengangsurkan callatea yang baru dipecah dari induknya. "Dia itu, entahlah, gak bisa diajak untuk melihat bagaimana hidup harus berjalan. Aku ngomong begini, ini, bukan karena benci dia loh, bukan. Aku ngomong gini, karena aku prihatin saja sama dia."
Si rambut cepol yang sudah berhasil menanam belasan tanaman pecahan ke dalam polybag hanya mengangguk tak acuh. "Ya, aku percaya saja. Aku sendiri sih, kurang berminat sama hidupnya Leira yang terlihat sepi itu. Yang penting, Leira masih bagus menjalanankan bisnis bos kita dan kita terus gajian dan dapat bonus, yowes, selebihnya bukan urusanku."
"Iya, sih, bener juga." Enggan memperpanjang topik mereka saat ini, si pemecah tanaman kembali fokus pada callatea, asoka, dan tanaman lain yang harus mereka siapkan, karena permintaan tanaman hias sedang naik tinggi-tingginya. "Sore nanti aku mau urus aglonema. Dua hari lalu, Pak Tino datang bawa Dona Carmen dan Lipstik. Mereka sudah siap pecah dan kamu harus siapkan media tanamnya, ya. Leira bilang, aglonema mau dia jual di stand air terjun Jumog dan Tenggir Park."
"Ya. Dua karung media tanam dan sekam kayaknya cukup untuk semua pecahan aglonema yang Pak Tino bawa kapan hari. Tapi kalau bisa, jangan sampai terlalu malam selesainya. Aku mau pergi sama anakku, mau cari jaket baru untuk dia."
Si pemecah tanaman menganguk setuju. "Aku juga mau berduaan sama suamiku, lah. Sambil nonton sinetron, sambil ngemil gethuk lindri kan enak. Minumnya teh kreweng gula batu. Muanteb, wes!"
Dua pegawai toko tanaman hias itu tertawa lirih, lalu melanjutkan obrolan mereka dengan topik lainnya. Fokus bekerja dan hanyut dalam setiap perbincangan, membuat mereka tak sadar jika seseorang yang mereka bicarakan sejak tadi, mendengar jelas dan menyimak apa saja yang mereka utarakan dari pikiran mereka.
Alleira hanya tersenyum tipis dengan binar sendu pada netra hitamnya. Gadis itu, gadis yang sejak tadi hanya berdiri mematung sambil menatap puluhan bibit miana dan keladi siap jual, hanya mampu menarik napas panjang dan menghelanya dengan sangat pelan. Jangan sampai dua pegawai pamannya menyadari kehadirannya, lalu mereka mungkin saja menjadi canggung. Bagi Leira, kunci berkembangnya bisnis Paman Tino yang terasa pesat akhir-akhir ini, terjadi karena kerja keras dan kekompakan tim yang mereka miliki. Alleira tak boleh menumbangkan kekompakan yang tim mereka miliki, juga sisa semangatnya untuk terus bertahan hidup, di tengah segala pahit yang harus ia telan hingga saat ini.
Getar ponsel pada saku celana, membuat Alleira diam-diam melangkah cepat menjauh dari tempat ini. Ia berjalan ke arah depan toko sambil membuka ponselnya, barangkali ada pesanan tanaman yang harus ia cari atau suplai. Senyum Alleira yang entah kapan terakhir melengkung sempurna itu, sedikit tertarik dengan wajah datar dan dingin. Pesan kesekian ratus dari pria itu. Pria yang ia harap memberikan sedikir manis untuk hidupnya, tetapi justru menyiram panas yang membuatnya nyaris mati rasa pada cinta.
Aku sudah enam bulan menduda. Apa lagi yang harus kulakukan untuk membuktikan jika aku tulus mencintai kamu dan ingin menjadi bagian dari hidupmu?
Seperti yang lalu-lalu, Alleira hanya membaca, lalu menutup laman percakapan itu. Seperti udara kawasan Ngargoyoso Karanganyar pagi ini, hatinya sudah dingin diselimuti oleh kabut kekecewaan. Ia tak lagi ingin berharap pada apapun, siapapun. Ia hanya ingin menjalani hidup ini seperti aliran air, yang entah membawanya apa akhir takdir bagaimana. Ia membuka percakapan lainnya, dan membaca ulang apa saja yang akan menjadi agendanya hari ini. Bertemu dengan seseorang yang akan memberikannya kegiatan baru untuk membuktikan, bahwa ia bukanlah si bodoh dengan hidup memprihatinkan seperti yang dua orang itu bicarakan tadi. Ya, Alleira harus bisa memenangkan pertemuan siang ini, agar setidaknya ia bisa memiliki satu hal yang bisa membungkan ucapan pedas orang tentang hidup dan dirinya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...