Pagi ini cerah, secerah hati Bagas yang mendapati Leira sudah menunggunya di meja makan. Senyum pria itu terukir dengan ringan dan maksimal. Ia tak bisa menutupi bahagianya, entah karena bisnisnya akan dibuka atau karena hidup barunya juga terbuka.
"Acaranya jam berapa, Gas?" Ibu Bagas bertanya saat pria itu duduk di salah satu kursi meja makan, lalu mengambil cangkir berisi kopi. "Ajak Leira? Soalnya Mama dan Bi Tina mau di rumah saja. Kami harus bicara banyak hal."
Bagas melirik jam tangannya sesaat setelah menyesap kopi hitamnya. "Jam dua siang, tetapi Bagas harus jalan sekarang. Jam delapan kami sudah harus bersiap-siap." Kini, mata Bagas mengarah kepada Leira yang masih terdiam di tempat duduknya. Di sebelah perempuan itu ada ibu Leira yang tersenyum melihat wajah Bagas yang penuh semangat. "Iya, Bagas ajak Leira dan dia wajib ada bersama Bagas." Senyum pria itu terukir, mendapati rona merah yang samar tercetak di wajah Leira. "Sudah siap, Lei?"
Leira mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu menatap Bagas dan tersenyum lembut. "Sarapan dulu, Bagas. Nanti pasti gak sempat makan."
Bagas mengangguk, lantas mengambil piring dan memberikannya kepada Leira. Senyum Bagas semakin terlihat saat Leira menyambut piring kosongnya, dan mengisi dengan nasi goreng telur ceplok.
Usai menghabiskan makannya, Bagas menatap ibu Leira yang tengah menikmati buah potong. "Bi Tina," panggil Bagas dengan nada serius. Sontak semua orang di meja makan itu memusatkan perhatiannya kepada Bagas. "Saya mau menikahi Leira. Mau melamar Leira kepada Bibi dan mengubah panggilan saya kepada Bibi jadi Ibu. Boleh, Bi?"
Wajah Leira bersemu. Perempuan itu menunduk lagi dengan gestur malu-malu.
Di sebelah Leira, ibu Leira tersenyum dengan mata yang menyorot haru. "Jawaban Leira bagaimana? Kalau Bibi, semua terserah Leira, asal anak Bibi jangan lagi sakit hati. Bibi hanya mau Lei bahagia dan memiliki pendamping yang tulus mencintai dia."
"Saya tulus, Bi. Saya cinta anak Bibi."
"Bibi tahu, kok, Mas." Ibu Leira tersenyum. "Bibi di sini bersama Lei, karena Bibi juga tahu kalau Lei sayang dengan Mas Bagas."
"Sebenarnya dia sudah cinta, Bi, tapi belum mau bicara saja."
Leira tampak salah tingkah, membuat hati Bagas semakin berbunga. Pria itu beranjak dari duduknya, lantas menghampiri Leira. "Jalan sekarang, yuk, Lei. Saya gak bisa telat."
Leira mengangguk, lalu pamit kepada ibunya dan orangtua Bagas. Tangan perempuan itu panas dingin saat menerima uluran tangan Bagas untuk bergandengan. Hatinya berdesir oleh rasa yang menyenangkan, saat Bagas menarik dirinya untuk melangkah keluar rumah menuju mobil.
****
"Bagus sekali." Leira tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia baru saja turun dari mobil bagas dan meliarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah.
Rengkuhan bagas terasa di pundak Leira. Pria itu bahkan mengecup lembut pelipis Leira yang tertutup poni. "Aku bikin ini sama teman kuliahku. Dia menginvestasikan uangnya untuk ini. Kalau menurutmu bagus, aku yakin orang lain akan menilai sama. Seleramu tentang tanaman sangat tinggi."
Senyum Leira terbit secerah mentari hari ini. Ia memandang Bagas sesaat, sebelum pria itu menarik Leira untuk masuk dan bertemu pegawai-pegawainya.
Bagas memimpin kordinasi pagi sebelum pembukaan dimulai. Di samping pria itu, Leira mengamati bagaimana Bagas tampak serius dan penuh konsentrasi. Leira bangga dengan Bagas yang pekerja keras. Bagas tak segan turun tangan sendiri menata ulang pot, menggeser kursi, membantu menata piring, dan mengecek mesin kasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...