Degup jantung Leira masih saja kencang meski perempuan itu sudah sampai rumah. Napasnya terhela panjang dan pelan demi bisa menenangkan dirinya dari gemuruh rindu dan emosi yang berkecamuk. Bayangan wajah Bagas dan wangi pria itu membuat tubuh Leira lemas. Seperti ada sesuatu yang menyedot habis tenaganya dan membuat perempuan itu ingin jatuh dan menyandar dalam pelukan Bagas.
Untungnya logika dan pikiran Leira masih bekerja dengan baik. Ingatan tentang status Bagas yang sudah menikah dan pengalamannya bersama Yongki, membuat Leira bersikap defensif. Ia tak ingin mengulangi kebodohan yang sama. Ingatan bagaimana Paman Tino harus menanggung malu dan dirinya yang harus mau mendengar cemoohan banyak orang, membuat Leira memilih untuk lekas pergi dari perbincangan di angkringan tadi.
Leira mendudukkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu kediaman Paman Tino. Ia menyandar dan mengistirahatkan hati dan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Tanpa terasa, air matanya luruh dan rindu yang selalu Leira tekan, tiba-tiba meledak dan membuat dadanya sesak.
"Bagas," ucapnya lirih dengan mata tertutup dan air mata yang terus meluruh.
Entah sampai berapa lama ia terus berada dalam posisi itu dan rasa sakit yang menggulung batin Aleira dalam sepi dan hening.
****
"Pak Mansyur, rodhotum aceh dan red sumatran sudah saya bawa sekarang. Boleh minta pot keramik yang Bapak siapkan untuk aglonema ini?" Aleira tersenyum kepada Pak Mansyur saat dirinya baru saja sampai di hotel untuk melanjutkan pekerjaannya.
Pak Mansyur yang tengah mengawasi fotografer yang tergah mengambil gambar taman, membalas senyum Aleira. "Ada. Ada di ruangan saya. Setelah mereka selesai poto-poto embun di ujung daun, saya ambilkan pot-pot keramik itu. Ada dua model pot yang berbeda, untuk dua rak dan dua jenis aglo tersebut. Mbak Leira sudah tahu, kan, yang saya maksud?"
Aleira mengangguk, tanda bahwa mengerti yang Pak Mansyur inginkan. Tak lama setelah menunggu para juru foto itu hingga selesai, Pak Mansyur meninggalkan taman dan Leira mulai mempersiapkan pupuk, sekam, dan perlengkapan lainnya.
"Aglonya ada berapa, Mbak Leira? Karena ini pot keramik, saya hanya keluarkan sesuai jumlah masuk tanaman. Kalau disimpan di sini, takut kesenggol tukang atau orang, terus pecah."
"Delapan belas, Pak," jawab Leira seraya melirik ke arah jejeras taman dalam polibag yang ia bawa. "Sepuluh rodhotum dan delapan red sumatran."
"Ya sudah, saya letakkan sesuai jumlah ini dulu, ya. Kalau nambah lagi, saya keluarkan lagi pot selanjutnya."
Aleira mengangguk patuh, lalu menerima pot-pot berat yang mudah pecah itu. Dengan hati-hati, ia menerima pot itu dan meletakkannya dalam area yang aman.
Pak Mansyur pamit untuk melanjutkan tugasnya yang lain. Meninggalkan Aleira yang selalu sendiri saat menata tanaman itu. Leira memang tak memiliki asisten dalam mengerjakan projek ini. Ia lebih senang bekerja sendiri dan menikmati sepi yang menurutnya menenangkan.
Dalam kesendirian, Aleira memindan donna carmen ke dalam pot plastik yang akan menjadi cenderamata. Masih kurang delapan puluhan lagi untuk menjadi lengkap tiga ratus pot sesuai pesanan. Setelah itu, ia akan mengurus aglonema premium yang baru datang dari Sumatra.
Sambil melakukan tugasnya, pikiran Aleira berkelana tentang Bagas. Ia menyadari satu hal, bahwa perasaannya kepada pria itu masih ada dan nyata. Takdir memang pahit baginya, karena mereka bertemu lagi dalam kondisi yang berbeda. Bagas sudah memiliki Queena dan ia harus puas dengan kesendirian. Hatinya kecewa dan putus asa, tetapi harus memaksa untuk menerima kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomansaAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...