"Kak, kata Ibu suruh masak tumis kangkung sama goreng lele." Gadis berseragam putih biru memasuki hunian tempat Leira tinggal. "Ibu sama Bapak pulang malam katanya. Mau bantu hitung hasil panen apelnya Pak Anjar."
Leira mengangguk, lantas menerima kantung berisi bahan yang harus ia masak sesuai pesanan sang ibu. Adiknya baru pulang sekolah sore hari ini dan membawa belanjaan yang Leira yakin diberikan oleh ibunya di kebun tempat orangtuanya bekerja.
Sudah tiga bulan Leira tinggal di rumah ini, sebagai anggota keluarga yang ada tapi tak ada. Ia membersihkan rumah, merawat adik bungsunya yang masih balita, menyiapkan makanan dan bercocok tanam aglonema kecil-kecilan di taman rumah yatim milik bos ayah tirinya.
Leira menyukai kota Batu. Hawanya sama dengan Karanganyar. Sejuk dan menenangkan. Namun, sama seperti saat hidup sendiri, Leira pun tak nyaman di sini. Ayahnya jarang bicara dan berinteraksi dengannya. Ia tak ubah seperti tamu yang menumpang hidup sampai entah kapan. Hanya ibu yang selalu mencoba dekat dengannya dan mencoba menghibur, meski Leira tetap merasa hampa.
Ia ingin memiliki seseorang yang bisa berbagi dengannya. Seseorang yang mau memahami dan melindunginya dengan segenap rasa yang nyaman. Sejak bertemu kembali dengan ibunya di rumah Om Tino, Aleira tahu bahwa wanita itu merindukannya. Namun, tiga bulan menuruti pinta ibunya untuk tinggal bersama, nyatanya tak membuat Aleira senang. Ia masih hampa, kesepian, dan ... sendiri.
Masyarakat sini baik. Ia berkenalan dengan beberapa perempuan dan anak-anak rumah yatim milik Pak Anjar. Di sana pula ia merawat beberapa aglonema dan menyibukkan diri agar ingatan malam nahas itu bisa segera enyah. Pun tentang Bagas. Aleira mencoba untuk ikhlas dan menerima jika memang takdir mereka tak akan pernah ada.
Pukul delapan malam saat ibunya pulang bersama ayah tirinya. Adik-adiknya sudah tertidur dan masuk ke kamar mereka. Leira masih berada di ruang tivi dengan tumpukan baju yang ia setrika.
"Istirahat, Lei. Ibu memintamu tinggal di sini bukan untuk melakukan apa yang dulu ibu lakukan di rumah orang."
Leira menatap ibunya dengan senyum samar. "Ibu keberatan?"
Ibu Leira tak menjawab. Perempuan itu hanya mengukir senyum, seraya menatap putrinya yang berubah sejak ia menikah. "Tidak. Hanya saja—"
"Ibu bukan orang lain bagi Leira, kan? Jadi, tidak masalah jika Lei melakukan hal ini, bukan?"
Perempuan itu tersenyum kikuk. "Ibu bawa pulang lima kilo apel dan teh rosella dari istri Pak Anjar. Kamu mau Ibu buatkan apa? Teh rosella atau jus apel?"
"Teh, boleh. Kebetulan Leira ingin bicara dengan Ibu."
Ibu Leira mengangguk, lantas meninggalkan Leira yang masih berkutat dengan tumpukan baju.
Leira mengamati ibunya yang melangkah menuju dapur rumah itu, lalu menghela napas lirih. Bahkan wanita yang melahirkannya saja, terlihat seperti kurang nyaman dengan keberadaannya.
*****
"Ibu tenang tinggal di sini bersama—suami ibu. Meski ia hanya penjaga kebun apel dan Ibu kerap membantu saat panen, tetapi Ibu bahagia." Ibu memulai obrolan mereka malam ini. Dua cangkir teh dan gorengan ote-ote terhidang di meja teras mereka. Perempuan itu menarik napas panjang dan lirih. "Setelah semua rasa pahit yang Ibu terima, akhirnya ada yang mau menerima Ibu dan memberikan kesempatan baru. Ibu ingin hidup seperti perempuan pada umumnya. Memiliki suami dan kehidupan yang layak."
Aleira menerawang pada langit berbintang. Ia memahami keinginan sederhana sang ibu. kehadirannyalah yang membuat hidup ibunya jadi rumit. Mereka pergi dari Karanganyar dan menghilang ke Jakarta, menjadi pembantu rumah tangga sampai belasan tahun. Menelan cacian dan hinaan orang-orang dan menanggung beban kesalahan yang bukan hanya milik Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...