Enam bulan berjalan dan hati Leira masih terasa kosong. Pak Anjar dan istrinya memfasilitasi Leira untuk membangun tempat budidaya aglonema dan memberdayakan para remaja putri yang tidak bekerja dan sekolah. Perempuan itu melatih para remaja putri hingga mereka bisa bercocok tanam dan membudidayakan berbagai jenis tanaman. Para pemilik kios tanaman hias akan datang ke tempat Leira dan membeli beberapa tanaman untuk dijual lagi di tempat wisata.
Hari-hari Leira mulai sibuk dan ramai dengan berbagai kegiatan. Ia pun sudah sanagt dekat dengan adik-adiknya dan menjaga mereka saat orangtuanya harus berada di kebun apel dan jambu. Leira mulai dikenal banyak orang dan menjadi salah satu yang disegani juga dikagumi.
"Kak, makan siang nanti Kakak masak apa? Ibu dan Bapak pulang sore dari kebun."
Leira lupa. Sepagian ini dia sibuk memberikan arahan kepada beberapa remaja, cara membelah anakan aglonema dan bagaimana menanam dalam polybag sebelum dijual ke para penjaja tanaman hias. Dia juga memberikan tutorial memperbanyak tanaman wijaya kusuma dan miana aneka warna. Tak terasa, hari sudah siang dan ia harus memenuhi kebutuhan pangan adik-adiknya.
"Ibu tadi belanja, gak, ya?" tanya Leira kepada adiknya yang masih sekolah SMP.
"Tidak," jawab remaja itu. "Kita beli rujak petis saja, gimana? Kalau masak, takut lama. Saya sudah lapar."
Leira mengangguk patuh. Ia mengeluarkan uang miliknya dan meminta sang adik untuk membeli rujak petis dan rawon. "Setelah itu langsung pulang, ya. Kakak tunggu di rumah. Kakak akan pulang setelah ini." Ia harus memblender jambu biji untuk menu minuman mereka. Ibunya selalu membawa hasil kebun, nyaris setiap hari dan itu membuat Leira jadi sering membuat jus untuk diminum bersama adik-adiknya.
"Mbak Leira nanti balik lagi, kan?" Seorang remaja putri yang menjadi tim Leira bertanya. "Mbak gak lupa, kan, kalau sore nanti kios tanaman hias BNS mau ambil miana?"
Leira mengangguk. "Iya, ingat. Saya akan kembali sebelum jam tiga." Perempuan itu mengambil tasnya, lalu berjalan meninggalkan kawasan rumah yatim milik bos orangtuanya.
****
Mungkin ibunya benar. Ia hanya membutuhkan waktu dan keterbukaan hati untuk menerima lingkungan baru dan beradaptasi. Setelah sembilan bulan sejak Yingki mencoba memperkosanya, lalu ia dijemput oleh ibunya untuk tinggal di sini, Leira mulai merasa nyaman. Meski interaksinya dengan sang ayah tiri masih kaku, tetapi pris itu sudah mulai menganggapnya ada. Terkadang, ayah tiri Leira akan meminta tolong hal-hal kecil terkait kebutuhan adik-adiknya. Tak mengapa, dengan begitu saja, Leira sudah merasa dianggap dan diterima.
"Ibu itu loh, bawa buahnya mesti apel sama jambu. Ketahuan gak beli. Pasti dibawain sama Bu Ken."
Leira mengulum senyum geli mendengar adiknya yang masih kecil itu, meminum jus buatannya sambil menggerutu.
"Bosan," lanjut balita usia tiga tahunan itu.
Leira tak menanggapi dan hanya meminta adiknya untuk menghabiskan apa yang tersaji sebagai menu makan siang mereka. Setelah ini, Leira akan membawa mereka ke rumah yatim agar bisa Leira awasi sampai sore nanti.
"Kak, Om Tino kayaknya mau ke sini hari ini." Si adik remaja berucap. "Aku dengar tadi Ibu terima telepon dari Om Tino, terus Ibu bilang suruh langsung ketemu Kakak."
"Oya?" Leira sedikit antusias. Sudah lama sekali ia tak bertemu omnya. Belasan tahun hidup sebagai "anak" Om Tino, membuat Leira merasa ada ikatan di antara mereka. Om Tino menyayanginya dan selalu bertanggung jawab terhadapnya, saat ia hidup sendiri di Karanganyar. "Kakak, kok, gak dikasih tahu, ya, sama Om Tino?" Seharusnya Tino menghubunginya, bukan, alih-alih ibunya? Ah, sudahlah, mendengar akan menerima tamu Om Tino saja, Leira sudah bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...