Roda kemudi yang tak tahu apa-apa itu, harus mau menjadi pelampiasan amarah Bagas yang sejak tadi memukul benda itu dengan kencang. Napasnya naik turun tak beraturan dengan wajah yang masih saja tegang. Setiap mengingat bagaimana wajah Leira yang tampak merona dan bahagia, ada rasa tak terima yang Bagas rasa. Leira sangat kejam, serupa wanita iblis yang tak memiliki nurani. Demi apa Leira meninggalkannya untuk pria tua itu?
Satu pemikiran terlintas di benak bagas. Mungkin benar yang Queena katakan tentang Leira yang tak ingin hidup susah. Bagas melihat jelas saat Leira keluar toko perhiasan dengan satu tas belanja berlogo toko itu. Wanita mana yang tak suka emas dan permata? Namun, sepertinya wanita itu lupa jika bagi bagas, benda itu bukanlah barang mahal.
Bagas berada di mal untuk membeli beberapa perlengkapan kerja pribadi yang ia butuhkan. Tanpa sengaja, saat tengah memilih hard disk untuk menyimpan data khusus hotel yang sedang ia bangun, matanya melihat Leira tengah memilih unit laptop bersama pria tua yang senantiasa merengkuh pundaknya. Amarahnya bergemuruh, tetapi rasa penasaran lebih mendominasi pria itu.
Setelah traksaksinya membeli perlengkapan untuk data-data itu selesai, alih-alih pulang atau makan malam, Bagas justru membuntuti Leira yang lanjut menuju toko baju ternama. Dalam jarak yang cukup, mata Bagas terus mengamati pergerakan Leira bagai seorang pembunuh yang siap menelan korbannya sesaat lagi. Seperti seorang yang mengalami gangguan jiwa, beberapa kali Bagas mengambil gambar Leira tang tengah tertawa. Ada kepuasan dalam hatinya, meski lebih banyak rasa kecewa.
Hingga saat ia sampai kembali di kamarnya yang ada di hotel, Bagas masih saja bingung dengan sikapnya. Ia sadar betul seperti orang gila yang memilih tidur sambil memperhatikan hasil bidikannya saat membututi Leira tadi, alih-alih mengangkat panggilan dari ibu dan istrinya.
Entah ini sudah panggilan yang keberapa, Bagas terus saja menolak panggilan dari ibu dan istrinya. Ia meletakkan ponselnya di kasur dan memejamkan mata. Hidupnya terasa berat, terlebih setelah banyak penghianatan yang ia terima. Bayangan wajah Leira yang tampak semakin cantik terus saja berputar di pikirannya. Ada gemuruh dan gairah yang menjerat dirinya, tetapi ia tahu tak bisa melepaskan apa yang ia rasa.
Leira memang kurang ajar. Seharusnya perempuan itu bisa bersabar sedikit saja dan menunggunya. Seharusnya perempuan itu tahu jika apapun yang sudah mereka sepakati, tak bisa diingkari.
Helaan napas lelah terembus dari Bagas yang penat. Pernikahannya pun terasa menjemukan, ditambah sekarang perempuan yang ia cinta bahagia di atas penderitaannya. Dadanya terasa sesak mengingat sebarapa besar beban yang harus ia tanggung.
Ponselnya berdering lagi. Ia tahu siapa yang menghubunginya tetapi tak berminat untuk bicara. Ia ingin sendiri, pergi, hilang, dan bersahabat dengan sepi. Ia ingin kedamaian dan ketenangan. Jakarta terlalu sesak dan penat, tetapi tak meninggalkan orangtua yang membutuhkannya.
Mata Bagas terbuka, karena dering ponsel itu tak sedikit pun berhenti. Ia meraba kasur dan mengambil ponselnya untuk diangkat. Bagas sadar betul, seberat apapun beban yang ia miliki dan sehancur apapun hatinya, ia tak bisa lari dari tanggung jawab.
"Iya, Queen? Maaf, aku baru selesai meeting dan sekarang lelah." Berdusta pada istri itu tidak baik. Bagas tahu betul soal itu. Namun, mau bagaimana lagi jika rasa yang ia coba bangun untuk Queena ternyata hancur juga?
"Aku—ganggu kamu, ya?"
"Iya. Aku lelah. Kalau tidak ada yang penting dan mendesak, bisa akhiri sambungan ini? Aku ingin istirahat."
Hening menjeda beberapa saat, sebelum akhirnya Queena bersuara lirih. "Jaga kesehatan, Bagas. Tidurlah. Aku akan selalu menunggu kamu. I love you." Sambungan terputus dan tak ada yang berubah di hati Bagas. Dingin, hampa, sepi, dan ... tak ada emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...