17 Kacau

3.9K 996 91
                                    

"Rame banget, ya, Nduk. Sampe susah cari parkir." Om Tino melajukan kendaraannya dengan sngat pelan. Malam hari bukan waktu yang bersahabat bagi matanya yang mulai menua. Mencari slot parkir untuk acara pembukaan hotel ini, ternyata sulit karena sepanjang ia memutari area parkir, tempat itu nyaris penuh dengan kendaraan roda empat.

"Dengar-dengar memang kamar di hotel ini sudah terpesan semua." Leira yang menyimpan rasa takjubnya, meliarkan pandangan demi membantu Om Tino menemukan tempat berhenti mobil. "Di pojok situ, Om. Ada slot parkir!" Leira menunjuk pada arah yang ia maksud, lalu dengan sigap, Om Tino mengarahkan kemudinya.

Mereka berjalan bersama memasuki area depan hotel, tempat taman aglovenema berada. Sudah sekitar empat hari Leira tak ke sini, setelah pertemuannya dengan Bagas di ruang meeting lalu. Ia takjub dengan penataan dan dekorasi hotel yang menjelma bak negeri dongeng para peri. Tumbuhan dan bunga berada di mana-mana, dengan lilin dalam wadah indah yang menerangi di beberapa titik.

Leira melingkarkan tangannya pada lengan Om Tino dan menyamai langkah pria itu. Sesekali Om Tino berhenti untuk menyapa tamu yang ia kenal, dan Leira akan melengkungkan senyum sopan kepada mitra pamannya.

"Pak Mansyur!" Sapaan Om Tino terdengar penuh semangat. Pria itu menjabat tangan Pak Mansyur dengan gestur yang sangat ramah. "Terima kasih karena sudah memberikan kami kesempatan menjadi bagian dari pembangunan hotel ini. Fantastis sekali. Saya sampai takjub."

Pak Mansyur tertawa senang dengan gestur bangga terhadap tempatnya bekerja. "Tentu saja, Pak Tino. Kami tidak main-main dalam membuat konsep. Investasi berharga dalam industri kreatif itu adalah ide, bukan seberapa mahal materinya. Sebagus apapun bahan, jika konsep dan idenya pasaran, tidak akan menarik bagi orang. Ini semua tak lepas dari ide dan konsep yang dibentuk oleh pemilik hotel ini. Bapak Bagas."

Mata Pak Mansyur mengarah kepada seseorang yang berjalan santai mendekati mereka. Mata Leira meliar ke segala arah dengan sorot tak nyaman dan tangannya tanpa sadar meremas lengan Om Tino. Ia semakin mendekatkan dirinya pada sang paman, hingga tubuhnya menempel erat. Leira butuh perlindungan dan hanya Om Tino yang ia miliki dalam hidupnya.

Mata itu tampak menakutkan. Meski senyum yang perempuan itu lengkungkan terkesan tulus dan bahagia, tetapi Leira tak bisa dibohongi oleh sorot yang Queena arahkan kepadanya.

"Pak Bagas?" sampa Om Tino seraya mengulurkan tangan untuk berjabat. "Saya Sutino Edhy. Pemilik florist yang mensuplai tanaman aglonema."

"Juga sansivera," tambah Pak Mansyur dengan seringai bahagia. "Kami puas dengan hasil kerja Mbak Leira. Fantastis. Persis seperti yang Pak Tino puji pada hotel kami."

Om Tino tertawa ringan dengan wajah bahagia. "Tidak salah saya memilih dia." Pandangan Om Tino mengarah kepada Leira yang menunduk sambil terus merekatkan tubuhnya di samping Om Tino. "Dia punya banyak hal yang membuat saya semakin sayang kepadanya." Tangan Om Tino tang tak dipegang Leira, mengarah ke atas kepala perempuan itu dan mengusapnya lembut. "Dia pekerja keras dan selalu berdedikasi. Leira memang membanggakan dan selalu membuat saya senang."

Seringai di bibir Queena membuat Leira seperti mati kutu. Ia melirik kepada Queena dan Bisma yang selalu menempel. Seperti dirinya, Queena pun melingkarkan tangannya di lengan Bagas. Sedang Bagas, terlihat kaku dengan senyum dan gestur kikuk.

Om Tino kembali menatap Bagas dan mengangguk hormat. "Kami berterima kasih atas kesempatan yang Bapak berikan kepada kami. Menjadi bagian dalam pembangunan hotel ini, seperti kebanggaan tersendiri bagi kami."

Bagas hanya tersenyum kaku dan mengangguk. "Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi." Tanpa menyapa Leira, bagas beranjak meninggalkan Om Tino bersama Queena yang selalu mengikuti langkahnya ke mana pun.

AglovenemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang